Oleh: St. Ferry SP Sinamo, SH, MH, CPM, CPArb
Kesetiaan bukan sekadar janji formal dalam sebuah ikatan pernikahan, melainkan fondasi utama dalam membangun kehidupan rumah tangga yang kokoh. Dalam perspektif psikologi dan sosiologi, kesetiaan berfungsi sebagai penjaga stabilitas emosional, kepercayaan, dan keharmonisan relasi. Tanpa kesetiaan, hubungan akan mudah rapuh karena hilangnya rasa aman dan keyakinan satu sama lain.
Ilmu psikologi menjelaskan bahwa manusia memiliki kebutuhan dasar akan kasih sayang dan rasa aman (Maslow, 1943). Kesetiaan menjadi bentuk pemenuhan kebutuhan tersebut, karena pasangan yang saling setia akan memberikan kepastian emosional dan dukungan dalam menghadapi dinamika kehidupan. Dengan demikian, kebahagiaan sejati tidak datang dari mencari sesuatu yang baru, melainkan dari menjaga komitmen pada hati yang telah setia sejak awal.
Hal ini sejalan dengan firman Tuhan dalam Maleakhi 2:15-16:
“Bukankah Allah menjadikan mereka satu? Dan apa yang dikehendaki-Nya dari kesatuan itu? Keturunan ilahi! Jadi jagalah dirimu! Dan janganlah orang tidak setia terhadap isteri dari masa mudanya! Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel.”
Firman Tuhan menegaskan bahwa pernikahan adalah penyatuan ilahi, bukan hanya kontrak sosial. Kesetiaan adalah bentuk penghormatan kepada Tuhan yang telah mempersatukan dua insan. Demikian juga dalam Efesus 5:25, suami diperintahkan untuk mengasihi istrinya “seperti Kristus mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya.” Ini menunjukkan bahwa kesetiaan bukanlah beban, melainkan panggilan luhur yang menuntut pengorbanan, keteguhan, dan kasih yang tidak terbagi.
Dari sudut pandang hukum perdata di Indonesia, pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal (Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974). Definisi ini menekankan prinsip monogami sebagai bentuk perlindungan terhadap harkat dan martabat keluarga. Artinya, kesetiaan tidak hanya bernilai moral dan spiritual, tetapi juga memiliki dasar hukum yang mengikat.
Oleh karena itu, kesetiaan harus dipahami sebagai:
1. Komitmen spiritual – taat kepada Tuhan yang menghendaki pernikahan sebagai persekutuan kudus.
2. Komitmen emosional – menjaga hati pasangan agar tetap aman dan dicintai.
3. Komitmen sosial dan hukum – membangun keluarga yang bermartabat, stabil, dan diakui oleh negara.
Sebagaimana firman Tuhan berkata dalam Maleakhi 2:16: “Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel.”
Maka jelaslah bahwa kesetiaan bukan hanya kewajiban moral, melainkan perintah ilahi. Kesetiaan adalah wujud ketaatan pada Tuhan, penghormatan pada pasangan, serta perlindungan terhadap keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat.
Karena itu, marilah kita menjaga ikatan pernikahan bukan hanya dengan cinta yang penuh perasaan, tetapi dengan komitmen yang teguh, iman yang kokoh, dan kesetiaan yang tidak tergoyahkan. Sebab kebahagiaan sejati hanya akan lahir dari hati yang tetap setia pada pasangan yang telah Tuhan satukan sejak awal. (A27)