Sinata.id – Di sebuah desa kecil di Nyeri, Kenya, pada tahun 1940, lahir seorang gadis yang kelak akan mengubah wajah lingkungan dunia. Namanya Wangari Maathai. Siapa sangka anak petani sederhana itu tumbuh menjadi ikon lingkungan internasional, aktivis hak asasi manusia, dan peraih Nobel Perdamaian pertama dari Afrika.
Kisah hidupnya bukan sekadar perjalanan seorang ilmuwan, tetapi juga narasi penuh emosi tentang keberanian, kegigihan, dan cinta yang mendalam pada bumi.
Sejak kecil, Wangari Maathai tumbuh dikelilingi hutan hijau dan aliran sungai jernih. Ia kerap bermain di bawah pepohonan raksasa, merasakan angin sejuk dan suara burung liar.
Alam menjadi sekolah pertamanya. Ketika banyak anak seusianya memimpikan kota besar, Wangari justru memandang pepohonan sebagai sahabat dan penjaga kehidupan.
Keluarganya sederhana, mengandalkan pertanian untuk bertahan hidup.
Ibunya mengajarinya bahwa setiap tanaman yang tumbuh memiliki makna, dan setiap pohon yang ditebang tanpa bijak akan mengundang bencana.
Nilai-nilai itu melekat dalam benaknya, membentuk dasar perjuangannya kelak.
Kehausan akan pengetahuan mendorong Wangari Maathai menempuh pendidikan setinggi mungkin. Ia memperoleh beasiswa ke Amerika Serikat pada awal 1960-an, saat gelombang kebebasan Afrika dari kolonialisme sedang berkobar.
Di Universitas Mount St. Scholastica, Kansas, ia mempelajari biologi. Kemudian, ia melanjutkan ke Universitas Pittsburgh untuk gelar master.
Kembali ke Kenya, Wangari menjadi perempuan Afrika Timur pertama yang meraih gelar doktor di bidang kedokteran hewan dari Universitas Nairobi. Namun, gelar akademik bukan tujuan akhirnya.
Di balik kesuksesan itu, ia menyadari kerusakan alam yang kian parah, hutan-hutan ditebang, tanah tandus, dan perempuan desa harus berjalan bermil-mil mencari kayu bakar. Luka alam itu juga melukai hatinya.
Baca Juga: Kisah Perjalanan Hidup Stephen Hawking, Sang Jenius yang Menaklukkan Semesta dari Kursi Roda
Lahirnya Green Belt Movement
Pada tahun 1977, Wangari Maathai mendirikan Green Belt Movement, sebuah gerakan akar rumput yang sederhana: menanam pohon.
Bagi sebagian orang, menanam pohon tampak remeh.
Tapi baginya, ini adalah bentuk perlawanan. Pohon berarti kehidupan, air bersih, tanah subur, dan masa depan.
Ia mengajak para perempuan desa untuk menanam pohon, bukan hanya sebagai pelestarian lingkungan tetapi juga cara memperkuat ekonomi mereka.
Pohon-pohon itu memberi kayu bakar, buah, dan pekerjaan.
Perlahan, Green Belt Movement berkembang menjadi gerakan sosial besar. Lebih dari 50 juta pohon ditanam, menjadikan Wangari sebagai simbol harapan.
Perlawanan terhadap Kekuasaan
Keberanian Wangari Maathai menguji batas-batas rezim. Pada masa pemerintahan otoriter Daniel arap Moi di Kenya, proyek-proyek pemerintah seringkali merusak lingkungan, termasuk rencana membangun gedung pencakar langit di Taman Uhuru, Nairobi.
Wangari berdiri di barisan depan untuk menentangnya. Ia dipukuli, dipenjara, dan dicemooh. Namun, semangatnya tak tergoyahkan.
Suatu hari, setelah dibebaskan dari penahanan, ia berkata, “Mereka bisa menebang pohon, tetapi tidak bisa menebang jiwa kami.”
Kalimat itu menggema di hati banyak orang. Tekadnya menunjukkan bahwa aktivisme lingkungan bukan hanya tentang pohon, tetapi tentang hak asasi manusia, demokrasi, dan keadilan sosial.
Nobel Perdamaian 2004
Tahun 2004 menjadi tonggak bersejarah. Komite Nobel menganugerahkan Hadiah Nobel Perdamaian kepada Wangari Maathai atas “kontribusinya pada pembangunan berkelanjutan, demokrasi, dan perdamaian.” Ia adalah perempuan Afrika pertama dan aktivis lingkungan pertama yang meraih Nobel ini.
Dalam pidato penerimaannya di Oslo, ia berbicara: “Kita harus menanam pohon harapan, pohon perdamaian, dan pohon masa depan.”
Dunia tersentuh. Wangari bukan hanya seorang aktivis, tetapi suara nurani global.
Pohon Sebagai Simbol Kehidupan
Wangari Maathai kerap menyamakan pohon dengan kehidupan manusia.
Baginya, setiap akar yang tertanam adalah harapan yang bertumbuh. Ia percaya bahwa masalah lingkungan, kemiskinan, dan konflik saling terkait.
Menanam pohon berarti memberdayakan masyarakat, memperbaiki tanah, dan merajut perdamaian.
Gerakan ini menyebar ke seluruh dunia.
Banyak komunitas internasional mengadopsi model Green Belt Movement untuk mengatasi krisis lingkungan.
Dari Asia hingga Amerika Latin, nama Wangari Maathai menjadi sinonim dengan aktivisme hijau.
Luka dan Keteguhan Hati
Di balik panggung publik, Wangari Maathai menghadapi tantangan pribadi. Pernikahannya berakhir dengan perceraian pahit.
Ia juga mengalami tekanan sosial karena sikapnya yang vokal melawan kekuasaan.
Namun, ia tidak pernah membiarkan luka pribadi menghentikan perjuangannya.
Justru dari rasa sakit itulah ia menemukan kekuatan untuk terus berdiri.
Ia pernah berkata kepada para perempuan Kenya: “Jangan takut. Kalian adalah penjaga kehidupan. Jika kita menyerah, siapa lagi yang akan menjaga bumi ini?”
Wangari Maathai Meninggal Dunia
Wangari Maathai wafat pada 25 September 2011 karena kanker, tetapi warisannya hidup.
Green Belt Movement terus berjalan, dan jutaan pohon yang ditanamnya tetap berdiri sebagai monumen keuletannya.
Banyak pemimpin dunia, aktivis muda, dan organisasi lingkungan terinspirasi olehnya.
Pada tahun-tahun setelah kepergiannya, gerakan penghijauan urban, pendidikan lingkungan, dan aksi iklim semakin marak.
Nama Wangari Maathai kerap disebut dalam pertemuan PBB, forum iklim global, dan sekolah-sekolah.
Ia membuktikan bahwa satu suara bisa menumbuhkan hutan harapan.
Kisah Wangari Maathai bukan sekadar biografi seorang pahlawan lingkungan. Ini adalah undangan bagi setiap orang untuk bertindak, sekecil apa pun langkah itu. (A46)