oleh: Zulkarnaen Berutu
Tindakan Bupati Pakpak Bharat, Franc Bernhard Tumanggor, yang melaporkan sejumlah warga ke Polda Sumatera Utara pada 22 Oktober 2025 melalui laporan polisi Nomor LP/B/1724/X/2025/SPKT/Polda Sumatera Utara, menimbulkan banyak pertanyaan di tengah masyarakat.
Laporan tersebut dikaitkan dengan Pasal 45 ayat (4) jo Pasal 27A Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024.
Namun sebagian warga yang dipanggil mengaku tidak memahami dasar laporan ketika menerima undangan klarifikasi.
Situasi ini menimbulkan kegelisahan publik, sebab dalam demokrasi, kritik serta penyampaian pendapat merupakan hak warga negara yang dilindungi undang-undang dan ditegaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi.
Apabila kritik atau aksi massa dijadikan alasan pelaporan pidana, masyarakat perlu meninjau apakah mekanisme tersebut sejalan dengan prinsip keterbukaan dan kebebasan berekspresi.
Beberapa warga yang hadir dalam pemeriksaan menyebut bahwa penyidik belum dapat menunjukkan secara jelas bukti berupa unggahan media sosial yang dijadikan dasar pengaduan.
Bahkan akun yang disebut-sebut terlibat, yaitu Salam Berutu dan Nurhabibi Malau, tidak dapat ditampilkan saat wawancara berlangsung.
Kondisi ini membuat warga mempertanyakan kelayakan aduan tersebut diterima sebagai laporan pidana.
Lebih jauh, muncul dua pertanyaan penyidik yang dianggap tidak relevan dengan substansi laporan, yakni mengenai apakah Bupati dinilai berbudaya Pakpak dan apakah pernah menghina Suku Pakpak.
Pertanyaan seperti ini membuka ruang diskusi lebih luas: sejauh mana persoalan hukum bertaut dengan persoalan identitas budaya? Dan apakah keduanya memiliki hubungan langsung dengan laporan yang dilayangkan?
Masyarakat yang dilaporkan kemudian menyatakan komitmen untuk mendorong Polda Sumut bekerja profesional berdasarkan prinsip Presisi Polri.
Transparansi serta pembuktian yang kuat dinilai penting agar publik memperoleh kejelasan dan tidak terjebak pada asumsi.
Peristiwa ini juga memunculkan refleksi mengenai dinamika politik Pakpak Bharat sejak Pilkada 2020.
Dukungan masyarakat terhadap pemimpin tentu disertai ekspektasi terhadap sikap terbuka, kedekatan dengan masyarakat, dan kemampuan menampung kritik.
Ketika warga yang bersuara justru berhadapan dengan proses hukum, wajar bila publik mempertanyakan arah kepemimpinan dan hubungan antara pemerintah daerah dengan rakyatnya.
Harapannya, pemerintah daerah maupun aparat penegak hukum dapat menyikapi persoalan ini secara jernih. Jika ada pelanggaran hukum, tentu penyelesaian harus ditempuh melalui jalur yang benar.
Namun jika pelaporan bersumber pada kritik atau ekspresi publik, maka ruang dialog harus lebih diutamakan.
Sebagai masyarakat Pakpak, kita diajak untuk tetap kritis, mengawasi jalannya pemerintahan, serta menjaga marwah adat dan budaya tanpa terjebak pada polarisasi. Kritik tidak berarti permusuhan; justru menjadi kontrol agar kekuasaan tidak kehilangan arah.
Prinsip “Mertampuk Bulung Merbenna Sangkalen, Janah Mersidasa Ugasen” mengingatkan bahwa menjaga kebenaran dan kehormatan adalah kewajiban bersama.
Semoga peristiwa ini menjadi momentum memperkuat kesadaran hukum, meningkatkan transparansi, serta memperbaiki komunikasi antara pemerintah dan masyarakat.
Karena pada akhirnya, kekuasaan harus kembali pada tujuan mulia: kemaslahatan rakyat dan penghormatan terhadap suara warga.
Njuah Njuah.