Mataram, Sinata.id – Polemik penerapan royalti musik oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) kini merambah sektor perhotelan berbasis syariah. Hotel Grand Madani di Kota Mataram memutuskan menghentikan sementara pemutaran lantunan Al-Qur’an (murotal) di lobi setelah menerima tagihan royalti tahunan sebesar Rp4,45 juta.
General Manager Hotel Grand Madani, Rega Fajar Firdaus, menyatakan pihaknya keberatan dengan kewajiban tersebut. Menurutnya, murotal yang diputar sejak pagi hingga menjelang magrib bukanlah musik komersial, melainkan bagian dari identitas hotel syariah.
“Untuk sementara kami hentikan dulu. Kami menunggu keputusan resmi dari asosiasi hotel. Jika nantinya diwajibkan membayar, kami akan patuhi aturan itu, setelah itu murotal bisa kami putar kembali,” ujar Rega, dikutip dari Radar Lombok pada Rabu 20 Agustus 2025.
Tagihan yang dilayangkan LMKN tidak hanya mencakup musik, tetapi seluruh audio yang diperdengarkan di ruang publik, termasuk siaran televisi maupun suara-suara bernuansa alam. Hotel Grand Madani yang memiliki 59 kamar dikenai royalti Rp4 juta per tahun, ditambah pajak 11 persen.
“Sekarang suasana hotel benar-benar hening. Tidak ada musik, tidak ada murotal. Televisi di kamar pun ikut masuk perhitungan LMKN, padahal pihak hotel tidak mengetahui tayangan apa yang ditonton tamu,” tambah Rega.
Sosialisasi terkait ketentuan royalti telah dilakukan LMKN di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) NTB pada akhir Juni lalu. Aturan ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang mewajibkan setiap pelaku usaha membayar royalti atas penggunaan karya cipta di ruang publik.
Hingga saat ini, Grand Madani belum melakukan pembayaran. Asosiasi Hotel Mataram (AHM), di mana Rega juga menjabat sebagai sekretaris, berencana menggelar rapat pada Kamis mendatang untuk menentukan sikap bersama.
“Setelah rapat Kamis nanti, kami baru bisa menyampaikan sikap resmi asosiasi. Saat ini kami belum bisa menegaskan apakah mendukung atau menolak kebijakan tersebut,” jelas Rega.
Polemik ini menambah kegelisahan pelaku usaha perhotelan di Mataram. Sebagian hotel menilai skema perhitungan royalti LMKN tidak sesuai dengan kondisi nyata di lapangan. AHM berupaya mencari jalan tengah agar keberatan para pengusaha dapat tersampaikan tanpa melanggar ketentuan hukum.
Menanggapi hal ini, Sekretaris Komisi II DPRD Kota Mataram, H. Muhtar, menilai kebijakan royalti layak dikaji ulang. Menurutnya, penerapan aturan tersebut dinilai kurang logis, terutama terhadap hotel syariah yang hanya memutar lantunan ayat suci.
“Ekonomi kita baru mulai pulih. Penerapan royalti justru bisa menambah beban pelaku usaha. Masak hanya mendengar bacaan Al-Qur’an saja dikenakan pungutan?” ucap politisi Partai Gerindra itu.
Ia menekankan, setiap kebijakan terkait royalti seharusnya didasarkan pada kajian mendalam agar tidak terkesan memberatkan atau diterapkan secara sepihak.
Sementara itu, Issak Irwansyah selaku Humas LMKN belum memberikan tanggapan resmi atas keberatan pihak hotel syariah. Publik kini menunggu kejelasan apakah murotal yang diputar di ruang publik hotel akan tetap masuk kategori objek royalti, atau akan ada pengecualian khusus untuk hotel dengan konsep syariah. (*)
Sumber: Radar Lombok