Pematangsiantar, Sinata.id – Polemik dugaan pungutan liar (pungli) dengan dalih iuran keamanan lingkungan (Siskamling) di Kelurahan Timbang Galung, Kecamatan Siantar Barat, Kota Pematangsiantar, kian terang.
Isu yang semula hanya menjadi keluhan warga, kini mengemuka menjadi persoalan yang serius. Mulai dibahas masalah dalam rapat koordinasi Forum Komunikasi Pimpinan Kecamatan atau Forkopimca hingga mengundang perhatian aparat berwajib.
Juga, polemik turut semakin hangat adanya fakta menarik berupa pengakuan jujur Lurah Timbang Galung Syahrizal Hasibuan. Keterangan ini diungkapnya, pada 7 Juli 2025.
Syahrizal kepada Sinata membeberkan pungutan berkedok iuran keamanan lingkungan (Siskamling) yang ditandatanganinya adalah perintah lisan dari Camat.
“Kutipan dana ini sudah ada dilakukan sebelum saya menjabat lurah. Bahkan lurah sebelumnya yang kini menjadi Camat juga melakukan hal yang sama, hanya saja waktu itu tidak ada dokumen persetujuan tertulis,” ujar Syahrizal, Senin, 7 Juli 2025.
Camat yang ia maksud adalah Herwan AR Saragih. Syahrizal mengatakan Herwan yang sekarang menduduki posisi Camat Siantar Barat lebih dulu sebagai Lurah Timbang Galung.
Syahrizal mengaku menandatangani surat resmi pungutan bersama Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), hanya meneruskan kebijakan yang sudah ada.
Sayang, ketika dikonfirmasi soal pengakuan lurah tersebut, Herwan AR Saragih memilih tidak merespons pertanyaan wartawan. Konfirmasi dilayangkan pada 10 Juli 2025.
Baca juga:
Heboh Pungli “Direstui” Lurah, Polisi Turun Tangan
Dikeluhkan, Iuran Jaga Malam di Kelurahan Timbang Galung
Sebelumnya, pungutan berkedok iuran Siskamling diatur melalui surat LPM Kelurahan Timbang Galung nomor 034.4/400/10/217/IV/2025, ditandatangani Lurah Syahrizal Hasibuan dan Ketua LPM, M Affan Lubis.
Dalam surat itu disebutkan bahwa hasil rapat RT, RW, Ketua Lingkungan, dan LPM pada 28 April 2025 menetapkan biaya iuran, yakni, warga biasa sebesar Rp10.000; warga ekonomi menengah ke atas Rp50.000, dan bagi pemilik usaha/ruko sebesar Rp100.000.
Pengutipan dilakukan oleh masing-masing RT sejak tanggal 1 setiap bulan dengan kupon resmi yang ditandatangani lurah dan Ketua LPM serta distempel asli. Pengutipan tersebut dikeluhkan masyarakat sekitar.
Sementara praktisi hukum Pondang Hasibuan agaknya berpendapat lain. Ia menilai, meskipun disepakati secara musyawarah, pungutan seperti ini tetap memerlukan dasar hukum yang kuat.
“Musyawarah tidak bisa dijadikan tameng untuk melegalkan pungutan yang berpotensi menjadi pungli. Ketika ada uang yang diminta, meski disepakati, tetap butuh dasar hukum. Dan seorang lurah seharusnya menjadi penjaga aturan, bukan malah memberi legalitas,” ujar Pondang. (*)