Pematangsiantar, Sinata.id – Acara halal bihalal Al Jam’iyatul Washliyah Kota Pematangsiantar dirangkai dengan pemberian upa-upa terhadap Wali Kota Wesly Silalahi–Wakil Wali Kota Herlina serta Kapolres AKBP Sah Udur Togi Marito Sitinjak.
Upa-upa Tradisi Batak
Upa diberikan Ketua PD Al Jam’iyatul Washliyah, Ishak Hutasuhut. Ishak menyampaikan doa dan harapan agar Wali Kota dan jajaran mampu memimpin kota tanpa hambatan, serta menyatakan kesiapan Al Jam’iyatul Washliyah untuk berkolaborasi dengan Pemko. Lantas apa makna dari upa-upa?
Tradisi Mangupa Upa: Doa, Petuah, dan Rasa Syukur dalam Budaya Batak
Upa berasal bahasa Mangupa merupakan salah satu tradisi penting dalam budaya Batak yang sarat makna. Tradisi ini bisa dipahami sebagai prosesi doa yang diselingi dengan petuah dan nasihat bijak dari para orang tua atau sesepuh kepada seseorang atau sepasang pengantin yang sedang menjalani momen penting dalam hidupnya.
Secara umum, Mangupa Upa dapat disamakan dengan prosesi syukuran atau selamatan. Namun, ciri khas yang membedakannya adalah nilai-nilai luhur warisan leluhur Batak yang menyertainya. Lewat tradisi ini, masyarakat Batak tidak hanya mengungkapkan syukur dan harapan, tetapi juga mempererat tali kekeluargaan lintas generasi.
Dua Versi Mangupa Upa: Batak Toba dan Mandailing
Melansir dari indonesia.go id, terdapat dua versi utama Mangupa Upa, yakni versi Batak Toba dan versi Mandailing. Meskipun memiliki perbedaan dalam sajian makanan dan simbolisme, keduanya tetap berpijak pada makna yang sama: mengungkapkan rasa syukur, memanjatkan doa, serta menyampaikan petuah dari orang tua dan sesepuh.
Pada versi Batak Toba, Mangupa Upa kerap dilakukan dalam momen pernikahan dengan menyajikan ikan mas arsik sebagai menu utama. Ikan mas melambangkan harapan agar pasangan pengantin hidup bahagia, saling menyayangi, dan dikaruniai keturunan yang banyak, baik, serta cerdas. Para sesepuh secara bergiliran menyentuh atau mengambil bagian dari sajian tersebut, sebagai bagian dari prosesi penuh makna.
Sementara itu, dalam versi Mandailing, sajian Mangupa Upa lebih beragam. Di atas nampan biasanya terdapat sirih, beras, daun pisang sitabar, ikan, daging kambing, telur ayam, hingga garam. Masing-masing bahan memiliki makna simbolis: beras untuk kebijaksanaan, sitabar sebagai lambang pernikahan sekali seumur hidup, ikan untuk keharmonisan, daging kambing sebagai simbol keperkasaan, telur sebagai sumber kehidupan, dan garam sebagai lambang manfaat hidup bagi sesama.
Tidak Terbatas di Kampung Halaman
Meski tradisi ini berakar dari Sumatera Utara, Mangupa Upa tidak hanya dilakukan di kampung halaman. Banyak masyarakat Batak yang merantau tetap melestarikan tradisi ini di perantauan. Hal ini membuktikan betapa kuatnya ikatan budaya yang diwariskan turun-temurun.
Mangupa Upa bisa dilakukan dalam berbagai momentum penting—mulai dari pernikahan, kelahiran, menempati rumah baru, hingga memulai atau menyelesaikan pekerjaan besar. Bahkan, bisa juga digelar sebagai ungkapan syukur karena terhindar dari musibah, atau sebagai permohonan agar hal buruk tidak terulang kembali.
Simbol dan Keyakinan Spiritual
Dalam masyarakat Mandailing, Mangupa Upa dahulu dikenal dengan sebutan paulak tondi tu bagas, yang berarti “memulangkan roh ke dalam raga”. Mereka percaya bahwa dalam peristiwa penting, jiwa atau roh seseorang bisa terpisah sementara dari tubuhnya, dan melalui upa (doa dan makanan simbolik), roh tersebut dikembalikan agar tetap kuat menyatu.
Tradisi Mangupa Upa bukan sekadar upacara adat—ia adalah manifestasi dari kearifan lokal, spiritualitas, dan cinta yang mendalam terhadap keluarga dan leluhur. Di tengah arus modernisasi, pelestarian tradisi ini menjadi wujud nyata bahwa budaya Batak tetap hidup dan bermakna di hati para penerusnya. [TP]