Jakarta, Sinata.id – Pernahkah Anda tiba-tiba terbawa ke masa kecil hanya karena mencium aroma tertentu? Misalnya, bau serbuk gergaji yang membuat seseorang seolah kembali ke halaman rumah lamanya, atau wangi parfum yang mengingatkan pada sosok terkasih.
Fenomena ini bukanlah kebetulan. Ilmu pengetahuan menjelaskan bahwa wangi-wangian memiliki kekuatan besar untuk membangkitkan memori emosional.
Pada 1935, psikolog Donald Laird dari Colgate University mengajukan pertanyaan sederhana: “Apa yang sebenarnya dapat dilakukan hidungmu?”
Dalam penelitiannya, ia menemukan bagaimana wewangian tertentu memicu kilas balik pengalaman pribadi dengan detail yang sangat nyata. Salah satu respondennya bahkan mengaku, bau serbuk gergaji mampu menghidupkan kembali kenangan masa kecil seolah kejadian itu terjadi kembali.
“Ingatan yang dipicu oleh aroma sangat emosional dan mendalam, bukan sekadar bayangan samar,” tulis Laird. Temuan ini kemudian dibuktikan kembali oleh sains modern.
Menurut laporan Harvard Medicine, jalur saraf penciuman manusia berbeda dengan pancaindra lainnya. Ahli neurobiologi Harvard Medical School, Sandeep Robert Datta, menjelaskan bahwa meski penciuman manusia tidak setajam anjing atau tikus, aroma memiliki keterikatan langsung pada pusat kognitif, emosi, dan memori.
Struktur otak penciuman terletak dekat dengan hippocampus (pusat memori) dan amigdala (pusat emosi), sehingga dapat langsung “terhubung” ke memori emosional tanpa harus melewati thalamus seperti penglihatan atau pendengaran.
“Sejak awal, otak berkembang dari kemampuan penciuman, navigasi, dan memori. Itu sebabnya hubungan antara aroma dan ingatan begitu kuat,” ujar Datta.
Namun, kekuatan aroma tidak selalu bersifat positif. Profesor Kerry Ressler dari Harvard Medical School mengungkapkan bahwa bau tertentu dapat memicu kenangan traumatis. Dalam penelitiannya pada tikus, aroma yang dipasangkan dengan sengatan listrik menimbulkan ketakutan mendalam.
Menariknya, ketika dilakukan terapi paparan ulang, rasa takut tersebut berkurang, dan otak menunjukkan perubahan: jumlah neuron serta ukuran glomeruli penciuman kembali normal.
Temuan ini memberi harapan besar bagi pengobatan PTSD pada manusia. Misalnya, veteran perang dapat menjalani terapi virtual reality yang dilengkapi aroma untuk menghadapi pemicu traumanya dengan aman.
Selain nostalgia dan trauma, aroma juga berpengaruh terhadap kesehatan mental. Ahli saraf Brown University, Rachel Herz, menyebut bahwa wangi-wangian dapat langsung memicu respons emosional sekaligus memengaruhi kondisi fisik.
Penelitian menunjukkan bau yang membangkitkan kenangan pribadi mampu memperlambat pernapasan, menurunkan stres, dan bahkan mengurangi peradangan. Hal ini pula yang menjelaskan mengapa kehilangan indra penciuman dapat berdampak serius pada kesehatan mental.
Tak heran jika terapi berbasis aroma kini semakin populer. Lavender, misalnya, dipercaya mampu menenangkan pikiran, sedangkan wangi kopi sering digunakan untuk membangkitkan semangat.
Indera penciuman kita jauh lebih kuat dari yang kita bayangkan. Satu tarikan napas dapat menghidupkan kembali memori puluhan tahun lalu, lengkap dengan emosi yang menyertainya.
Ke depan, riset lanjutan mengenai hubungan antara aroma, otak, dan emosi diharapkan membuka peluang baru dalam pengobatan, terutama bagi gangguan kecemasan serta trauma. (A46 | ON)