Oleh: Pdt Lukman Pasaribu, M.Th.
Gereja-gereja di berbagai denominasi hari ini memperingati Minggu Akhir Tahun Gerejawi, sebuah momentum penting dalam kalender liturgi yang telah berakar dalam sejarah gereja sejak awal abad ke-19. Dalam ibadah khusus ini, nama-nama jemaat yang meninggal sepanjang tahun dibacakan sebagai bagian dari refleksi iman dan penghayatan terhadap pengharapan kebangkitan.
Setiap gereja memiliki tata ibadah yang berbeda. Sebagian menyusun liturgi bernuansa eskatologis dari awal hingga akhir, sementara lainnya menempatkan pembacaan nama-nama jemaat yang meninggal setelah warta jemaat. Di beberapa denominasi, teologi kematian bahkan dibacakan sesuai rumusan pengakuan iman masing-masing, menegaskan nilai spiritual dari momen tersebut.
*Akar Tradisi yang Panjang dari Jerman*
Minggu Akhir Tahun Gerejawi bukanlah sekadar liturgi, tetapi tradisi historis. Pada tahun 1816, Raja Friedrich Wilhelm III dari Prusia menetapkan Minggu terakhir sebelum Adven sebagai Totensonntag—hari mengenang orang yang meninggal.
Tradisi ini awalnya dirayakan oleh Gereja Protestan Prusia, kemudian menyebar ke gereja-gereja Lutheran dan Reform di seluruh Jerman.
Tujuannya jelas: gereja memberi ruang khusus bagi umat untuk mengenang saudara-saudara seiman yang telah meninggal dan meneguhkan pengharapan akan kebangkitan.
Ketika tradisi ini dibawa ke Nusantara oleh para misionaris RMG (Rheinische Mission Gesellschaft), istilah Totensonntag tidak digunakan.
Gereja-gereja di Indonesia lebih mengenalnya sebagai Minggu Akhir Tahun Gerejawi atau Minggu Peringatan Orang Meninggal.
Momen ini sekaligus menjadi transisi menuju Tahun Baru Gerejawi, memasuki Minggu Adven.
*Makna Teologis dan Pastoral Bagi Jemaat*
Pdt. Lukman Pasaribu menjelaskan sejumlah makna penting dari perayaan ini:
*1. Tubuh Kristus Tidak Terputus oleh Kematian*
Pembacaan nama-nama jemaat yang meninggal bukan untuk membangkitkan duka, tetapi sebagai pengakuan bahwa tubuh Kristus tidak pernah diputuskan oleh kematian.
Momen ini menyentuh sisi sosial dan spiritual jemaat, mengingatkan bahwa persekutuan orang percaya melampaui batas kehidupan duniawi.
*2. Deklarasi Iman Gereja Secara Komunal*
Secara teologis, pembacaan nama-nama itu adalah deklarasi iman bersama bahwa kematian bukanlah akhir.
Gereja menegaskan kembali janji Kristus: “Akulah kebangkitan dan hidup.” Mereka yang telah pergi tidak hilang, melainkan hidup dalam pelukan kekekalan bersama Sang Penebus.
*3. Dimensi Pastoral yang Menguatkan Keluarga Berduka*
Bagi banyak keluarga, kehilangan tidak mudah. Ada yang meratap, menangis, bahkan menyimpan dukacita bertahun-tahun.
Gereja hadir sebagai pelukan spiritual yang menguatkan mereka, memberikan ruang penyembuhan dan penghiburan.
Litani pembacaan nama menjadi tanda bahwa air mata keluarga tidak pernah berjalan sendirian—gereja memikulnya bersama.
*4. Pengingat Bagi Jemaat yang Masih Hidup*
Pembacaan nama-nama itu juga menjadi pesan lembut bagi jemaat yang hidup: bahwa dunia ini fana, dan kehidupan harus dijalani dengan kasih, pelayanan, kesetiaan, serta pengharapan yang teguh. Nilai-nilai rohani yang diwariskan mereka yang telah mendahului harus diteruskan dalam kehidupan jemaat saat ini.
*5. Gereja Sebagai Persekutuan Lintas Generasi*
Perayaan ini mengingatkan bahwa gereja adalah persekutuan orang-orang yang pernah hidup, yang sedang hidup, dan yang kelak akan hidup dalam Kristus.
Hidup, mati, dan kebangkitan berada di bawah pemerintahan Kristus Sang Raja. Di penghujung Tahun Gerejawi ini, gereja menegaskan bahwa seluruh sejarah bermuara kepada Kristus, Sang Alfa dan Omega.
*MEMENTO MORI* — Ingatlah hari kematianmu, agar engkau hidup dengan benar.
Dalam Kristus, kematian bukanlah akhir, melainkan pintu menuju hidup yang kekal. Kiranya umat memasuki Tahun Gerejawi yang baru dengan hati yang tertata, iman yang teguh, dan pengharapan yang berakar pada Kristus, Raja atas seluruh sejarah.(A27).