Sinata.id – Puluhan musisi dari Amerika, Eropa, Australia, hingga Indonesia secara tegas menarik karya mereka dari Spotify. Penyebabnya bukan hanya soal royalti, melainkan investasi CEO Spotify, Daniel Ek, ke perusahaan teknologi militer berbasis kecerdasan buatan.
Dari band indie hingga grup legendaris, mereka bersatu menolak uang hasil musik digunakan untuk mendukung peperangan.
Salah satu pelopor aksi ini adalah band indie-rock asal Amerika, Deerhoof. Sejak 30 Juni lalu, mereka resmi memboikot Spotify.
Dalam unggahan di Instagram, Deerhoof menegaskan bahwa mereka menolak kekayaan hasil musik dipakai untuk membiayai teknologi perang.
“Kami menolak uang hasil kerja keras musisi digunakan untuk mendanai peperangan,” tulis mereka.
Tak kalah tegas, band rock asal Australia menyusul mundur sejak 25 Juli. Alasan mereka serupa, keberatan terhadap investasi Daniel Ek dalam pengembangan drone militer berbasis AI.
“Kami tidak ingin musik kami menjadi bagian dari sistem yang mendukung kekerasan,” tegas band tersebut.
Penyanyi folk Australia, Leah Senior, menambahkan catatan klasik soal royalti yang timpang, namun tetap menekankan prinsip kemanusiaan. Sementara David Bridie, musisi senior Australia lainnya, menegaskan, “Ini bukan tentang bisnis, ini tentang kemanusiaan.”
Baca Juga: Keji! Usai Pesta Sopi di Tempat Duka, Suami Tega Habisi Keluarga Sendiri
Dari Eropa, produser musik elektronik asal Jerman juga menarik seluruh karya mereka. Menurutnya, sistem royalti Spotify yang timpang, ditambah investasi di teknologi militer AI, membuatnya tidak nyaman tetap berada di platform tersebut.
Nama besar yang ikut ambil sikap adalah Massive Attack dari Inggris. Band legendaris ini resmi menarik seluruh katalog musiknya, menyebut investasi CEO Spotify senilai 600 juta Euro ke perusahaan AI militer Helsing sebagai alasan utama.
Mereka menegaskan, “Beban ekonomi musisi kini bertambah beban moral: uang hasil kerja keras penggemar dan musisi digunakan untuk mendanai teknologi destruktif. Cukup sudah.”
Dari Indonesia, Seringai, band metal asal Jakarta, menjadi perwakilan lokal yang lantang menolak keterlibatan dalam peperangan.
Manajer mereka, Wendi Putranto, menegaskan, “Band members Seringai dan seluruh karya mereka menolak terafiliasi dengan kegiatan tersebut maupun mendukung peperangan.”
Meski mundur dari Spotify, lagu-lagu mereka tetap tersedia di platform lain.
Tak ketinggalan, band asal Yogyakarta, Majelis Lidah Berduri, menyatakan mundur karena menilai Spotify mendukung genosida Palestina, berinvestasi dalam teknologi perang, dan menormalisasi sistem ekonomi yang merugikan pekerja seni.
Penyanyi independen Frau menambahkan, keputusan Ek memperbesar investasi di perusahaan AI militer menjadi titik balik.
“Ironis, seseorang yang membangun platform musik malah ikut menyumbang ke teknologi perang,” tulisnya di Instagram.
Ia menyebut konflik global seperti di Ukraina, Palestina, Papua Barat, dan Sudan membuka mata publik terhadap kebijakan korporasi yang tidak manusiawi.
Aksi serupa juga dilakukan oleh band eksperimental Morgensoll. Mereka telah menghapus semua rilisan dari platform streaming digital, dan merilis versi remastered album ETERNAL secara gratis di Bandcamp sebagai bentuk apresiasi kepada penggemar.
Begitu pula Xiu Xiu, yang masih dalam proses menghapus seluruh karya mereka dan mendorong penggemar untuk membatalkan langganan Spotify.
Gelombang mundurnya musisi dunia ini menegaskan satu hal, banyak seniman menolak musik mereka dijadikan sumber dana bagi industri militer. Dan mereka bersatu, dari Amerika, Eropa, Australia, hingga Indonesia, untuk menegakkan prinsip kemanusiaan di atas keuntungan. [zainal/a46]