Bekasi, Sinata.id – Baru-baru ini, seorang remaja bernama Aura Cinta menjadi sorotan publik setelah mengunggah sebuah video yang mengkritik kebijakan pemerintah terkait penggusuran rumahnya. Penggusuran tersebut merupakan bagian dari program normalisasi sungai yang digalakkan oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Dalam video tersebut, Aura menyampaikan kekecewaan dan keluhan terkait proses penggusuran yang dianggapnya dilakukan tanpa pemberitahuan atau komunikasi yang cukup.
Aura Cinta Ngaku Miskin
Aura tidak hanya mengkritik penggusuran rumahnya, tetapi juga menyoroti kebijakan lain yang dianggapnya memberatkan masyarakat, seperti larangan kegiatan study tour dan perpisahan sekolah. Ia, yang merupakan calon mahasiswa Universitas Indonesia, meminta kepada Dedi Mulyadi untuk mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut, dengan alasan bahwa perpisahan sekolah merupakan momen penting dan kenangan bagi dirinya dan teman-temannya di masa SMA.
Namun, saat bertemu dengan Dedi Mulyadi, suasana perbincangan menjadi lebih tegang ketika Gubernur Jawa Barat tersebut mengungkit kondisi ekonomi keluarga Aura. Dedi menyatakan bahwa meskipun keluarga Aura tinggal di bantaran sungai, gaya hidup mereka terlihat tidak mencerminkan keadaan ekonomi yang sebenarnya. “Tinggal di bantaran sungai, tetapi gaya hidup seperti ini harus diubah,” ujar Dedi, menanggapi gaya hidup Aura yang ia anggap bertentangan dengan status ekonomi keluarga mereka.
Dedi bahkan mempertanyakan apakah dirinya layak memberikan bantuan kepada keluarga Aura yang dinilai tidak memenuhi kriteria sebagai penerima bantuan sosial. “Sekarang teriak-teriak minta penggantian, saya kalau tega-tegaan saya layak ganti nggak?” ujarnya dengan nada sinis. Meskipun demikian, ibu Aura yang juga mengaku berasal dari keluarga sederhana mencoba menjelaskan bahwa mereka hanya membutuhkan keadilan, bukan bantuan.
Dedi Mulyadi kemudian menanggapi permintaan Aura agar perpisahan sekolah tetap diperbolehkan, dengan menyatakan bahwa jika dilihat dari keadaan ekonomi keluarga Aura, kegiatan tersebut tidak seharusnya menjadi prioritas. “Kenapa miskin gayanya seperti orang kaya? Sekolah harus ada perpisahan. Kamu kan miskin, kenapa orang miskin tidak prihatin?” kata Dedi.
Aura berusaha menjelaskan bahwa ia tidak menentang kebijakan tersebut, namun hanya meminta agar kebijakan itu dipertimbangkan kembali, mengingat tidak semua orang bisa menerima keputusan tersebut dengan mudah. Ia juga menambahkan, “Saya bukan menolak kebijakan bapak, saya mendukung, cuma jangan dihapus.”
Namun, Dedi Mulyadi memberikan jawaban yang tajam, menyebutkan bahwa orang miskin seharusnya lebih bijak dalam mengelola pengeluaran dan lebih fokus pada hal-hal yang dapat meningkatkan masa depan, seperti bisnis dan pengembangan diri. “Hidup itu jangan sombong. Anda tidak punya uang untuk kontrakan, tapi merasa wisuda lebih penting,” ujar Dedi, menanggapi protes Aura terkait larangan perpisahan sekolah.
Dalam perbincangan tersebut, Dedi menegaskan bahwa tidak semua orang miskin merasa perlu melaksanakan wisuda atau perpisahan sekolah, dan banyak keluarga yang justru menyambut baik kebijakan penghapusan kegiatan tersebut. Ia pun akhirnya menyatakan bahwa jika keluarga Aura merasa tidak membutuhkan bantuan, maka tidak ada alasan untuk memberikan bantuan lebih lanjut. (*)