Sinata.id – Ethereum kerap dipuji sebagai tulang punggung inovasi blockchain global. Namun di balik kecanggihannya, ada satu persoalan mendasar yang lama membayangi, yaitu cara manusia berinteraksi dengan sistem ini.
Alamat dompet berbentuk deretan huruf dan angka panjang membuat transaksi terasa menegangkan.
Satu kesalahan ketik bisa berarti kehilangan aset secara permanen.
Masalah tersebut bukan karena Ethereum gagal sebagai teknologi.
Justru sebaliknya. Jaringan ini tumbuh begitu cepat, melampaui kemampuan banyak pengguna untuk beradaptasi.
Ethereum sejak awal dirancang sebagai platform komputasi terdesentralisasi dengan fleksibilitas tinggi, bukan sebagai sistem yang ramah bagi pengguna awam.
Di tengah kompleksitas itu, muncul satu solusi yang mengubah wajah pengalaman pengguna Ethereum secara signifikan, Ethereum Name Service (ENS).
Di balik pengembangan infrastruktur ini, berdiri sosok engineer bernama Nick Johnson.
Baca Juga: Harga Bitcoin Rontok dalam Hitungan Menit, Likuidasi Ratusan Juta Dolar Guncang Pasar Kripto Global
Celah Besar di Balik Teknologi Canggih
Bagi pengembang, alamat kriptografis bukanlah masalah.
Namun bagi pengguna non-teknis, format tersebut menjadi penghalang utama.
Banyak orang tertarik dengan potensi Ethereum, dari DeFi hingga NFT, namun urung terlibat aktif karena interaksi dasarnya terasa asing dan berisiko.
Kontras ini semakin terasa ketika Ethereum mulai dibicarakan sebagai indikator fase pasar kripto tertentu.
Di saat jaringan menunjukkan kekuatan relatifnya, pengalaman pengguna justru tertinggal jauh di belakang.
Pertanyaan pun mengemuka, bagaimana Ethereum bisa digunakan secara massal jika interaksi paling dasarnya tidak manusiawi?






