Pematangsiantar, Sinata.id – Beranjak dari peristiwa gugurnya calon jaksa Reynanda Primta Ginting pada proses penangkapan (upaya paksa untuk menghadirkan) saksi kasus dugaan korupsi dana desa, pakar hukum dari Universitas Simalungun Dr Muldri Pasaribu SH MH menyebut, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) tidak boleh menugaskan calon jaksa melakukan penangkapan.
Berikut pendapat hukum Dr Muldri Pasaribu SH MH yang diterima Sinata.id melalui pesan Whatsapp (WA), Kamis 10 Juli 2025.
Katanya, sebelum menjadi jaksa fungsional/penuh, pada tahap awal calon jaksa memiliki tugas utama mengikuti pendidikan, pelatihan, dan magang sebagai persiapan menjalankan fungsi penegakan hukum secara profesional nantinya.
Dalam proses ini, calon jaksa didampingi Jaksa senior. Artinya calon jaksa dapat ikut serta dalam kegiatan penyelidikan sebagai pendamping atau observer, di bawah bimbingan dan pengawasan langsung dari jaksa senior. Mereka dapat belajar secara langsung mengenai proses penyelidikan, tekhnik pengumpulan alat bukti, pemeriksaan saksi, serta prosedur administrasi yang berlaku. Namun calon jaksa tidak memiliki kewenangan penuh untuk mengambil keputusan hukum.
Dalam tugas lapangan, keterlibatan mereka bertujuan agar calon jaksa memahami secara praktis tugas-tugas kejaksaan, termasuk bagaimana penyelidikan dilakukan sesuai aturan dan etika profesi.
Dalam tugas administratif, calon jaksa dapat membantu pencatatan, dokumentasi, dan tugas administratif lain yang mendukung proses penyelidikan. Namun, calon jaksa tetap tidak boleh melakukan tindakan hukum yang menjadi kewenangan jaksa fungsional
Sebut Muldri, calon jaksa tidak memiliki kewenangan hukum untuk mengejar tahanan yang lari secara mandiri. Kewenangan untuk melakukan tindakan pengejaran, penangkapan, dan pengamanan tahanan adalah tugas dari jaksa fungsional, atau petugas pengawal tahanan yang telah diberi wewenang resmi berdasarkan peraturan perundang-undangan dan standar operasional prosedur (SOP) di lingkungan kejaksaan.
Jika dalam praktiknya terdapat calon jaksa yang ikut terlibat dalam situasi pengejaran tahanan, maka hal tersebut bukan bagian dari tugas, dan bukan kewenangan resminya. Namun itu bisa saja terjadi secara insidental atau karena situasi darurat.
Secara aturan, tindakan pengejaran, penangkapan, dan pengamanan tetap menjadi tanggung jawab jaksa fungsional dan petugas pengawal tahanan yang telah diberi mandat dan pelatihan khusus.
Secara prinsip, calon jaksa tidak memiliki kewenangan hukum untuk melakukan tindakan represif seperti mengejar, menangkap, atau mengamankan saksi/tahanan yang melarikan diri. Kewenangan tersebut secara formal hanya dimiliki oleh jaksa fungsional atau petugas yang secara resmi diberi mandat oleh undang-undang dan peraturan internal kejaksaan
“Secara aturan formal tidak boleh. Karena calon jaksa belum memiliki otoritas hukum untuk bertindak sebagai pelaksana utama tindakan represif. Tugas mereka masih sebatas magang, observasi, dan membantu administrasi di bawah pengawasan jaksa senior,” tutur Muldri Pasaribu.
Namun, bila itu terjadi secara insidental, atau pada situasi darurat atau spontan, seperti membantu tim ketika saksi/tahanan melarikan diri, maka tindakan tersebut bisa saja terjadi sebagai reaksi manusiawi atau solidaritas tim. Namun, secara kelembagaan, hal itu tetap di luar kewenangan resmi calon jaksa. Bahkan hal itu berpotensi menimbulkan risiko hukum dan keselamatan bagi yang bersangkutan
Ungkap Muldri Pasaribu, bila tindakan pengejaran merupakan perintah dari atasan kepada calon jaksa untuk melakukan pengejaran tahanan yang lari, maka tindakan tersebut bertentangan dengan aturan dan etika profesi.
“Karena calon jaksa tidak memiliki kewenangan hukum untuk melakukan tindakan represif seperti pengejaran, penangkapan, atau pengamanan tahanan. Kewenangan tersebut hanya dimiliki oleh jaksa fungsional atau petugas pengawal tahanan yang telah diberi mandat resmi,” katanya.
Kemudian, calon jaksa berhak menolak perintah atasan jika perintah tersebut nyata-nyata melanggar hukum atau peraturan perundang-undangan. Penolakan terhadap perintah yang melanggar hukum, tutur Muldri Pasaribu, merupakan bentuk profesionalisme dan perlindungan diri dari resiko hukum.
Jika seorang atasan atau jaksa senior memerintahkan calon jaksa melakukan tindakan yang melanggar kewenangan seperti mengejar atau menangkap, maka atasan (pemberi perintah) dari calon jaksa tersebut dapat dikenakan sanksi.
Baca juga:
Masa Tugas Masih 3 Minggu, Pantaskah Calon Jaksa Ditugaskan Menangkap?
Adapun sanksi yang dapat dikenakan kepada pemberi perintah (atasan calon jaksa), diantaranya:
1. Sanksi Administratif
Jika pemberian perintah melampaui atau mencampuradukkan wewenang. Ini termasuk bentuk penyalahgunaan wewenang. Sanksi administratif yang dapat dijatuhkan, seperti teguran lisan/tertulis, penundaan kenaikan pangkat atau hak jabatan, pemberhentian sementara atau tetap, dengan atau tanpa hak keuangan dan fasilitas
2. Sanksi Disiplin dan Etik
Melanggar kode etik profesi jaksa dapat berujung pada pemberhentian tidak dengan hormat, jika terbukti melakukan pelanggaran berat, seperti menyalahgunakan jabatan atau memerintahkan tindakan yang melanggar hukum.
3. Risiko Pidana
Jika perintah tersebut menyebabkan kerugian, luka, atau kematian, atau menimbulkan kerugian negara, atasan dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, terutama jika terbukti ada unsur kesengajaan atau kelalaian berat. (*)