oleh: Anna Martyna Sinamo
Pakpak Bharat, Sinata.id – Dugaan kriminalisasi terhadap sejumlah aktivis di Kabupaten Pakpak Bharat kembali mencuat setelah Polda Sumatera Utara memanggil sejumlah warga yang terlibat dalam aksi damai pada 6 November 2023.
Pemanggilan dilakukan usai laporan Bupati Pakpak Bharat pada Juni 2025 yang menggunakan Pasal 27A Undang-Undang ITE hasil revisi tahun 2024.
Aksi damai bertajuk “Kandang Ayam” tersebut digelar oleh Gabungan Masyarakat Pakpak Bharat di kompleks DPRD.
Massa menyampaikan sejumlah tuntutan, antara lain pembatalan hasil pemilihan kepala desa di Tanjung Meriah, penolakan pelantikan kepala desa yang dipersoalkan, serta kritik terhadap rencana pengadaan kendaraan dinas baru.
Mereka juga menyoroti keberadaan kandang ayam di area kantor bupati dan pendopo, yang dianggap tidak sesuai dengan nilai budaya masyarakat Pakpak.
Aksi 2023 itu dihadiri beberapa tokoh masyarakat, termasuk Drs. Zulkarnaen Berutu, Pildo Juniper Sinamo, Salman Berutu, Amir Solin, dan Yudhika Kdemmun Banurea.
Respons pemerintah saat itu disampaikan melalui surat Sekda Jalan Berutu dan dibacakan Ketua DPRD Hotma Ramles Tumangger pada 9 November 2023. Sejumlah tuntutan tidak dikabulkan, dan polemik kandang ayam tidak mendapat jawaban substantif.
Dua tahun berselang, bupati melaporkan beberapa aktivis dengan dugaan pencemaran nama baik menggunakan Pasal 27A UU ITE 2024.
Pasal tersebut mengatur delik fitnah atau penghinaan melalui media elektronik, dengan ancaman empat tahun penjara atau denda hingga Rp 750 juta.
Meski demikian, pasal tersebut merupakan delik aduan dan tidak memungkinkan penahanan pra-persidangan karena ancaman pidanya di bawah lima tahun.
Pemanggilan aktivis oleh Polda Sumut pada 27 November 2025 menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat sipil. Para aktivis menyebut aksi mereka murni penyampaian pendapat secara damai, sebagaimana dijamin Pasal 28E UUD 1945.
Mereka menduga laporan berhubungan dengan sikap kritis masyarakat terhadap rencana revisi Permendagri No. 28 Tahun 2019 mengenai batas wilayah Dairi–Pakpak Bharat serta penolakan terhadap penamaan Batalyon 906 dan 908 yang dianggap tidak sejalan dengan kearifan lokal.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil, termasuk jaringan advokasi hukum dan kelompok adat, mulai menyatakan dukungan kepada para aktivis.
Mereka menilai laporan terhadap warga tidak memenuhi unsur “merugikan” sebagaimana dipersyaratkan Pasal 27A UU ITE. Petisi online pun telah beredar untuk mendorong transparansi proses hukum dan menolak penggunaan UU ITE untuk membungkam kritik.
Pakar hukum pidana Universitas Sumatera Utara, Dr. Budi Santoso, menilai perkara berpotensi tidak berlanjut apabila tidak ditemukan bukti kerugian nyata. Ia mengingatkan bahwa revisi UU ITE dibuat untuk mencegah kriminalisasi pendapat publik.
Ketegangan sosial juga meningkat karena isu ini menyentuh sensitivitas masyarakat adat Pakpak, terutama terkait perubahan batas wilayah administratif.
Pengawasan publik dinilai penting untuk memastikan penegakan hukum berjalan objektif dan tidak bergeser menjadi alat represi.
Kasus ini kini menunggu keputusan lanjutan dari penyidik Polda Sumut. Masyarakat berharap proses hukum dilakukan secara proporsional dan tetap menghormati kebebasan berekspresi sebagai bagian dari demokrasi lokal. (A27)






