Kediri, Sinata.id – Malam itu, Sabtu 14 Mei 2022, Hotel Bougenvile yang biasanya sunyi mendadak berubah menjadi saksi bisu tragedi mengerikan. Di balik pintu kamar 308, terbentang kisah kelam tentang cinta semu, harga diri yang terluka, dan amarah yang meledak hingga berujung maut. Ketika sang room boy, Bambang Romadon, mengetuk kamar dengan harapan memberi sarapan, yang ia temukan justru adalah seorang perempuan muda terbujur kaku, bersimbah darah, dengan tubuh tanpa berbusana yang tak lagi bernyawa.
Ifa Yunanik (33), ibu satu anak, pekerja seks komersial dari Desa Canggu, Kediri, ditemukan tewas dengan luka menganga di leher. Tapi lebih dari sekadar kasus pembunuhan biasa, tragedi ini menjadi viral karena alasan di balik pembunuhan itu sungguh mencengangkan, karena sebuah ejekan soal kejantanan.
Jejak Darah di Balik Layar Percakapan Facebook
Semua bermula dari dunia maya—Facebook, tempat dua jiwa saling bertukar sapa. M Wahyuddin Mahardhika, pemuda 22 tahun, pekerja di Kantor Urusan Agama Jombang, jatuh dalam godaan tubuh dan rayuan Ifa. Transaksi pun terjadi. Uang Rp500 ribu untuk satu jam kenikmatan di Hotel Banowati pada 7 Mei 2022.
Tapi malam yang seharusnya berakhir dengan kepuasan justru menjadi awal dari dendam terpendam. Di tengah peluh dan napas yang memburu, Ifa melontarkan komentar tajam yang menusuk harga diri Dhika: “Gede sih, tapi cepet keluar.”
Kalimat pendek itu menghancurkan maskulinitas Dhika. Ia merasa dipermalukan. Dihina. Direndahkan di momen yang paling telanjang—baik tubuh maupun harga dirinya. Sejak saat itu, benih pembalasan mulai tumbuh dalam diam.
Dari Dendam ke Darah
Tanggal 13 Mei 2022, Dhika menghubungi Ifa kembali. Kali ini bukan untuk bercinta, tapi untuk merencanakan akhir hidup sang perempuan. Ia menawarkan Rp1 juta untuk tiga jam layanan. Ifa menyetujui tanpa curiga, mungkin mengira uang bisa menambal luka ego pria yang sempat dia ledek.
Namun Dhika sudah siap dengan sebilah pisau yang dibawa dari rumah, dan pelat nomor motornya ia tutupi.
Di Hotel Bougenvile, kamar 308, mereka kembali berhubungan intim—empat kali dalam satu malam. Tapi bukan kesenangan yang ditunggu Dhika, melainkan momen ketika Ifa lemah dan lengah. Ia menawarkan pijatan. Dan ketika perempuan itu tengkurap, Dhika naik di punggungnya, pura-pura memijat. Saat itulah pisau beraksi.
Leher Ifa digorok. Napasnya ditekan dengan bantal. Ia meronta, tapi tubuhnya ditindih, dan tulang lehernya dipatahkan. Dalam kegilaan yang mengerikan, Dhika bahkan menusukkan jari ke luka di leher Ifa untuk memastikan ia benar-benar mati.
Dan setelah itu? Ia mandi. Ia berpakaian. Ia mengambil uang dan ponsel Ifa. Lalu mengunci kamar dari luar dan kabur seperti tak terjadi apa-apa.
Tak sampai 24 jam, polisi yang menyisir CCTV dan mencocokkan data berhasil menemukan pelaku. Di kantor KUA tempatnya bekerja, Dhika masih berlagak polos. Tapi bukti tak bisa dibantah. Ia ditangkap, diborgol, dan diarak menuju Polres Kediri.
Kepala Satuan Reskrim AKP Rizkika Atmadha menegaskan, motif utama bukan hanya karena rasa malu, tapi juga keinginan merebut kembali uang Rp1 juta yang sudah ia bayarkan. “Dari awal pelaku memang sudah merencanakan pembunuhan,” ujar Rizkika.
Sidang dan Vonis
Pada 9 Januari 2023, Pengadilan Negeri Kabupaten Kediri mengakhiri drama berdarah ini. Dhika dinyatakan bersalah atas pembunuhan berencana. Namun vonis yang dijatuhkan hanya 17 tahun penjara. Tak ada hukuman mati. Tak ada seumur hidup.
Vonis itu memicu tanya—apakah 17 tahun cukup untuk membayar harga sebuah nyawa? Apalagi jika nyawa itu hilang hanya karena ego dan ejekan di atas ranjang.
Kini, kamar 308 Hotel Bougenvile mungkin telah dibersihkan. Tapi di balik tirai, di antara ranjang dan bantal, tersisa jejak kemarahan yang membusuk. (*)