Fenomena “nepo kids” menjadi pemicu demo Nepal, ketika kemewahan elit politik kontras dengan kemiskinan rakyat dan tingginya pengangguran.
Kathmandu, Sinata.id – Nepal diguncang gelombang demonstrasi besar yang berujung kerusuhan dan menewaskan sedikitnya 22 orang serta melukai ratusan lainnya. Aksi protes yang berlangsung sejak pekan lalu ini tidak hanya menyebabkan pengunduran diri Perdana Menteri Sharma Oli, tetapi juga mengungkap akumulasi kemarahan publik terhadap praktik nepotisme, ketimpangan ekonomi, dan korupsi yang dianggap telah mengakar dalam tubuh pemerintahan.
Dalam surat pengunduran dirinya yang ditujukan kepada Presiden Ramchandra Paudel pada Selasa (9/9/2025), Sharma Oli menyatakan bahwa keputusan tersebut diambil demi membuka jalan penyelesaian politik. Namun, latar belakang dari aksi massa ini jauh lebih kompleks.
Baca Juga: Berdarah! Demonstrasi Nepal Tewaskan 22 Orang
“Nepo Kids” dan Kemewahan Elit Politik Jadi Pemicu Demonstrasi Berdarah Nepal
Menurut laporan Al Jazeera, pemantik utama demonstrasi adalah persepsi publik bahwa keluarga elite politik menikmati kehidupan mewah di tengah keterpurukan ekonomi rakyat.
Istilah “nepo kids”, plesetan dari nepotisme, mendadak populer di media sosial Nepal beberapa pekan sebelum protes meledak. Istilah ini merujuk pada anak-anak pejabat tinggi yang kerap memamerkan gaya hidup glamor di platform seperti TikTok dan Instagram.
Sejumlah video viral memperlihatkan kerabat menteri dan politisi berpose dengan mobil mewah, mengenakan busana bermerek, hingga berlibur ke destinasi mahal. Fenomena ini memicu kemarahan masyarakat yang masih bergulat dengan kemiskinan, inflasi, dan pengangguran tinggi.
“Kemarahan atas ‘anak-anak nepo’ mencerminkan frustrasi publik yang mendalam. Masyarakat terkejut melihat bagaimana tokoh politik yang dulunya sederhana kini bertransformasi menjadi elit dengan gaya hidup penuh kemewahan,” ujar Yog Raj Lamichhane, akademisi dari Universitas Pokhara.
Kesenjangan Ekonomi yang Tajam
Nepal, dengan pendapatan per kapita hanya sekitar US$1.400 per tahun atau Rp23 juta, termasuk negara termiskin di Asia Selatan. Lebih dari 20 persen penduduk hidup di bawah garis kemiskinan, sementara pengangguran, terutama di kalangan muda, terus meningkat.
Ketimpangan kepemilikan lahan semakin memperburuk kondisi. Data menunjukkan 10 persen rumah tangga terkaya menguasai lebih dari 40 persen lahan, sementara sebagian besar warga pedesaan tidak memiliki lahan sama sekali.
Situasi ini kian menambah kecurigaan bahwa kekayaan para pejabat bersumber dari praktik korupsi dan penyalahgunaan dana publik. Masyarakat menuntut dibentuknya komisi independen untuk menyelidiki harta kekayaan politisi.
Pemblokiran Media Sosial
Pemerintah Nepal sempat memblokir lebih dari 20 platform media sosial, termasuk Facebook, X (Twitter), dan YouTube, dengan alasan belum memenuhi aturan registrasi lokal. Kebijakan ini justru menyulut kemarahan generasi muda yang melihat langkah tersebut sebagai bentuk kontrol berlebihan.
Aktivisme digital semakin memperkuat gerakan jalanan. Narasi antikorupsi yang diperkuat oleh diaspora Nepal di luar negeri menambah tekanan terhadap pemerintah. “Pola yang terjadi di Nepal mirip dengan Bangladesh, di mana protes di dunia maya berkembang menjadi mobilisasi massa,” ungkap seorang analis intelijen.
Dari Aksi Damai Menjadi Kerusuhan
Awalnya demonstrasi berlangsung damai, dengan mahasiswa dan pemuda menyanyikan lagu kebangsaan sambil menuntut keadilan sosial. Namun, bentrokan dengan aparat terjadi setelah massa berusaha mendekati kompleks parlemen. Polisi menanggapi dengan gas air mata, peluru karet, hingga water cannon.
Kerusuhan meluas. Gedung parlemen dan rumah sejumlah pejabat, termasuk kediaman PM Oli dan Menteri Keuangan Bishnu Prasad Paudel, dibakar massa. Video amatir yang beredar memperlihatkan Paudel dikejar demonstran di jalanan hingga terjatuh akibat tendangan salah seorang peserta aksi.
Gelombang Frustrasi Generasi Muda
Kemarahan generasi muda, terutama Gen Z, terlihat mendominasi aksi protes. Mereka menuntut perubahan sistem politik yang dianggap tidak lagi mewakili kepentingan rakyat. Balendra Shah, Wali Kota Kathmandu yang populer di kalangan anak muda, bahkan menyebut pergerakan ini sebagai “murni gerakan Gen Z”.
“Kaum muda memandang kelas politik sebagai korup, egois, dan gagal mengatasi masalah mendasar seperti inflasi dan pengangguran,” tulis Shah di akun Facebook-nya. (A46)