Sinata.id – Kawanan perampok berhasil menggondol perhiasan kerajaan senilai 102 juta dolar AS atau sekitar Rp1,7 triliun dari Museum Louvre, simbol kebanggaan budaya dunia. Peristiwa yang berlangsung hanya tujuh menit ini membuat museum terbesar di dunia itu seolah lumpuh seketika.
Jaksa Paris Laure Beccuau mengonfirmasi angka fantastis kerugian tersebut pada Selasa (21/10/2025) waktu setempat, sembari menyebut bahwa luka terbesar dari insiden ini bukan hanya hilangnya nilai materi, tetapi juga lenyapnya sebagian warisan sejarah Prancis.
Direktur Louvre, Laurence des Cars, memilih bungkam sejak peristiwa yang terjadi pada siang bolong itu. Museum sempat ditutup dua hari penuh untuk penyelidikan dan baru dijadwalkan buka kembali pada Rabu (22/10/2025).
Penyidik meyakini pelaku berjumlah empat orang, yang datang dengan truk dan memanjat menuju Galeri Apollo, ruangan megah tempat menyimpan koleksi perhiasan kerajaan. Mereka menembus jendela menggunakan alat pemotong logam bertekanan tinggi, lalu menggasak etalase berisi perhiasan bersejarah.
Baca Juga: Permata Bersejarah Dicuri, Prancis Tutup Museum Louvre
Hanya dalam hitungan menit, kawanan itu kabur menggunakan skuter bertenaga besar, meninggalkan kekacauan di balik kaca pecah dan alarm yang terus meraung. Polisi kini menganalisis sidik jari, rekaman CCTV, serta jejak kendaraan yang diduga mengarah ke luar kota Paris.
Permata Sang Permaisuri Raib
Dari hasil penyelidikan awal, tercatat delapan artefak berharga hilang, di antaranya kalung zamrud dan berlian pemberian Napoleon I untuk Permaisuri Marie-Louise, serta diadem milik Permaisuri Eugénie yang bertabur hampir dua ribu berlian.
Beberapa sumber menyebut, salah satu mahkota sempat tertinggal di lokasi saat pelaku panik meninggalkan peralatan mereka. Namun, sebagian besar permata masih raib entah ke mana.
Menteri Kebudayaan Prancis Rachida Dati menegaskan bahwa pencurian ini bukan sekadar kejahatan biasa. “Yang dicuri bukan hanya permata, tetapi sepotong jiwa bangsa,” ujarnya dalam wawancara eksklusif di televisi TF1.
Sistem Keamanan Louvre Lemah
Laporan sementara menunjukkan sistem keamanan museum tertinggal jauh dari standar ideal. Menurut catatan Badan Pemeriksa Keuangan Prancis (2019–2024), hanya 25 persen area museum yang tercakup oleh kamera pengawas.
Des Cars bahkan sempat memperingatkan Kementerian Kebudayaan pada Januari lalu mengenai “tingkat keusangan yang mengkhawatirkan” pada infrastruktur keamanan Louvre dan meminta renovasi besar-besaran. Namun, peringatan itu seolah tenggelam di tumpukan birokrasi.
Kini, ia dijadwalkan tampil di Komite Budaya Senat Prancis untuk menjelaskan mengapa museum sekelas Louvre bisa dijebol dalam waktu kurang dari sepuluh menit.
Presiden Emmanuel Macron mengecam keras insiden ini melalui unggahan di platform X. Ia menyebut perampokan tersebut sebagai “serangan terhadap jiwa kebudayaan Prancis” dan berjanji pelaku akan diburu hingga ke ujung dunia.
“Benda-benda itu adalah bagian dari sejarah kita. Kami akan menemukannya,” tulis Macron. Pemerintah segera meningkatkan sistem keamanan seluruh museum nasional, termasuk pemasangan sensor gerak dan pengawasan berbasis kecerdasan buatan.
Bukan Kali Pertama Louvre Jadi Target
Ini bukan kali pertama Louvre menjadi sasaran kejahatan spektakuler. Tahun 1911, dunia digemparkan ketika lukisan Mona Lisa dicuri dan baru ditemukan dua tahun kemudian. Kini, lebih dari seabad setelah insiden itu, sejarah kelam serupa kembali berulang, kali ini dengan nilai kerugian yang jauh lebih besar.
Dengan 9 juta pengunjung per tahun, Louvre bukan hanya museum paling ramai di dunia, tetapi juga target paling empuk bagi sindikat kejahatan seni internasional.
Sebulan sebelum insiden ini, Museum Sejarah Alam Paris juga dibobol; pencuri berhasil membawa kabur emas langka senilai 600.000 euro. Pemerintah pun mempercepat proyek “Renaissance”, rencana 10 tahun untuk memperkuat keamanan museum-museum nasional menggunakan kamera biometrik dan sistem pengawasan pintar.
“Kita tengah memasuki era baru kejahatan seni, para pelaku bukan lagi pencuri amatir, melainkan kelompok terorganisir dengan teknologi canggih dan jaringan global,” tutup Rachida Dati. [zainal/a46]