Sinata.id – Tensi polemik utang Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh meningkat setelah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan tidak akan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menambal beban utang proyek tersebut.
Langkah Purbaya ini memunculkan perdebatan baru, terutama karena proyek yang digadang-gadang sebagai simbol modernisasi transportasi Indonesia itu masih menanggung beban finansial raksasa.
Awalnya, investasi diperkirakan hanya menelan biaya sekitar US$6 miliar. Namun seiring waktu, angka itu membengkak hingga US$7,27 miliar — setara lebih dari Rp115 triliun.
Luhut Minta Restrukturisasi
Ketua Dewan Energi Nasional, Luhut Binsar Pandjaitan, menilai penyelesaian masalah ini tidak perlu melibatkan APBN sama sekali. Menurutnya, solusi yang paling masuk akal adalah restrukturisasi utang dengan pihak China Development Bank (CDB), lembaga keuangan yang menjadi kreditur utama proyek tersebut.
“Ini tinggal restrukturisasi saja. Tidak ada yang minta APBN. Saya sudah bicara dengan pihak China, karena dari awal saya yang tangani proyek ini,” ujar Luhut di Jakarta, Sabtu (18/10/2025).
Luhut mengungkapkan bahwa pemerintah sebenarnya sudah pernah membuka negosiasi dengan pihak CDB saat dirinya masih menjabat sebagai Menko Marves.
Baca Juga: Harga Beras Mulai Turun, Minyak Goreng Masih Bandel
Namun, prosesnya sempat tertunda lantaran pemerintah perlu menunggu Keputusan Presiden (Keppres) untuk membentuk tim negosiasi resmi.
“China sudah bersedia melakukan restrukturisasi, tinggal tunggu pemerintah saja bergerak cepat,” tegasnya.
Berbeda dengan Luhut, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa pemerintah tidak akan menanggung utang tersebut melalui APBN.
Sebagai gantinya, ia menunjuk sovereign wealth fund (SWF) Indonesia, yakni Danantara, untuk mengambil peran pembiayaan proyek itu.
Menurut Purbaya, Danantara memperoleh dividen dari seluruh BUMN sekitar Rp90 triliun per tahun, angka yang dinilainya cukup untuk menutupi beban tahunan proyek KCIC Whoosh sekitar Rp2 triliun.
“Saya yakin kemampuan Danantara masih dalam batas wajar. Setiap tahun uangnya akan terus bertambah,” ujarnya optimistis.
Purbaya juga menyebut Danantara berkomitmen memperbaiki strategi investasi agar dana yang sebelumnya banyak ditempatkan pada obligasi pemerintah bisa dialihkan ke proyek-proyek strategis yang mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.
“Mereka bilang penempatan di obligasi hanya sementara, karena belum sempat membentuk proyek baru. Tapi ke depan akan lebih agresif di sektor riil,” katanya.
Danantara Siap Dukung Restrukturisasi
Chief Operating Officer Danantara, Dony Oskaria, juga telah menyampaikan kesiapan lembaganya untuk terlibat aktif dalam restrukturisasi proyek KCJB. Ia bahkan membuka kemungkinan penambahan ekuitas atau penyerahan sebagian aset infrastruktur KCIC kepada pemerintah sebagai bagian dari solusi jangka panjang.
Sementara itu, PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) melalui General Manager Corporate Secretary, Eva Chairunisa, mengaku memahami kekhawatiran pemerintah terhadap besarnya investasi proyek Whoosh.
Menurut Eva, koordinasi intens antara KCIC, pemerintah, dan lembaga keuangan terus dilakukan untuk menemukan jalan tengah terbaik.
“Kami sepenuhnya mendukung upaya mencari solusi yang berkelanjutan,” ujarnya.
Whoosh Tetap Jadi Kebanggaan
Meski polemik keuangan belum juga tuntas, performa Whoosh di lapangan tetap mengesankan. Sejak resmi beroperasi secara komersial pada 17 Oktober 2023, kereta cepat pertama di Asia Tenggara ini telah melayani lebih dari 12 juta penumpang dengan tingkat ketepatan waktu mencapai 99,9%.
Hingga September 2025, Whoosh mencatat peningkatan signifikan pada jumlah wisatawan mancanegara dengan total 566.829 penumpang asing. Dalam dua tahun beroperasi, Whoosh telah menempuh hampir 40 ribu perjalanan tanpa gangguan berarti. [zainal/a46]