Washington DC, Sinata.id – Pemerintah Amerika Serikat resmi mengumumkan peluncuran proyek kubah emas untuk pertahanan ambisius bernama Golden Dome, sistem perisai rudal berbasis luar angkasa yang disebut-sebut sebagai versi lebih canggih dari Iron Dome milik Israel. Proyek yang diperkirakan menelan biaya fantastis sebesar 175 miliar dolar AS (sekitar Rp2.800 triliun) ini digagas di masa pemerintahan mantan Presiden Donald Trump, dan ditargetkan mulai beroperasi pada Januari 2029.
Terinspirasi dari sistem pertahanan udara Israel yang fokus pada ancaman jarak dekat seperti roket dan drone, Golden Dome dirancang untuk menghadapi tantangan yang jauh lebih besar: rudal balistik, rudal hipersonik, hingga rudal jelajah dari negara-negara seperti China, Rusia, Iran, dan Korea Utara.
Dikutip Sinata.id pada Sabtu (24/5/2025), Trump menyebut Golden Dome sebagai “krusial bagi keberhasilan dan bahkan kelangsungan hidup Amerika Serikat.” Ia menambahkan bahwa sistem ini akan menggabungkan ratusan satelit, sensor canggih, serta pencegat dan senjata berbasis laser untuk menembak jatuh rudal musuh sejak fase peluncuran hingga perjalanannya di luar angkasa.
Proyek Strategis yang Sarat Kontroversi
Golden Dome bukan hanya soal teknologi, tetapi juga strategi geopolitik. Sistem ini menghidupkan kembali gagasan lama dari era Perang Dingin—yakni Strategic Defense Initiative atau “Star Wars” yang digagas Presiden Ronald Reagan pada 1980-an. Kala itu, AS ingin mengembangkan teknologi luar angkasa untuk melindungi diri dari serangan nuklir Soviet.
Kini, dengan tantangan baru dari Tiongkok dan Rusia, proyek ini kembali dihidupkan, namun tidak tanpa penolakan.
China menyatakan keberatan keras. Lewat juru bicara Kementerian Luar Negeri, Mao Ning, Beijing mengecam AS yang dinilai “terobsesi mencari keamanan absolut” dan memperingatkan bahwa langkah semacam ini berisiko “merusak keseimbangan strategis global.”
“Amerika hanya memikirkan keamanan dirinya sendiri, tanpa mempertimbangkan keamanan negara lain,” ujar Mao dalam pernyataan resminya, seraya mendesak Washington untuk menghentikan pengembangan sistem pertahanan global semacam itu.
Dukungan Teknologi dari Swasta dan Sekutu
Untuk mewujudkan proyek raksasa ini, pemerintah AS menggandeng beberapa perusahaan teknologi terkemuka. Di antaranya adalah SpaceX milik Elon Musk, Palantir Technologies, dan Anduril, perusahaan pembuat drone dan sistem pertahanan berbasis AI. Perusahaan besar lain seperti Lockheed Martin, L3Harris Technologies, dan RTX Corp juga disebut sebagai calon mitra utama.
Selain itu, Kanada menunjukkan minat untuk ikut ambil bagian. Perdana Menteri Kanada, Mark Carney, mengonfirmasi bahwa pemerintahnya tengah menjajaki kerja sama pertahanan dan ekonomi baru dengan AS—termasuk keterlibatan dalam proyek Golden Dome.
Mimpi Besar, Tantangan Besar
Meski ambisius, proyek ini mendapat skeptisisme dari kalangan analis pertahanan. Tom Karako, peneliti dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), menilai proyek ini sangat kompleks dan mungkin membutuhkan waktu lebih dari satu dekade untuk terealisasi sepenuhnya.
“Ini bukan sekadar membangun sistem pertahanan, tapi mengintegrasikan teknologi luar angkasa, AI, dan sistem pencegat ke dalam satu jaringan global. Biayanya besar, dan tantangan teknologinya pun luar biasa,” ujarnya.
Golden Dome dipromosikan sebagai sistem pelindung terhadap serangan rudal mematikan. Namun, kritik menyebutnya sebagai bentuk baru dari unjuk kekuatan militer Amerika Serikat di ranah luar angkasa. Di tengah upaya internasional menjaga keseimbangan strategis dan menghindari perlombaan senjata, proyek ini bisa memicu ketegangan baru. (*)