Oleh Samsuddin Siregar MPdI
Dosen STAI Samora Pematangsiantar
Hari Guru Indonesia memberikan kesempatan untuk mengevaluasi kembali posisi dan peran guru dalam masyarakat. Salah satu isu yang mencolok adalah paradoks yang dihadapi pendidik, dari penghormatan yang tinggi hingga tantangan kesejahteraan ekonomi yang rendah.
Dalam kerangka ini, pengakuan terhadap guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa bertentangan dengan realitas di mana banyak dari mereka berjuang secara finansial. Observasi ini mencerminkan kesenjangan antara retorika publik dan kondisi nyata yang dihadapi orang-orang yang berperan penting dalam membentuk generasi mendatang.
Paradoks Pendidik dalam Realitas Sosial
Paradoks penghormatan versus kesejahteraan, menyoroti betapa guru sering diagungkan, tetapi sering kali tanpa dukungan materi yang memadai. Banyak guru, meski dihormati, masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sehari-hari.
Penelitian menunjukkan, bahwa kurangnya perhatian terhadap kesejahteraan guru menghambat upaya
mereka untuk menciptakan lingkungan belajar yang baik.
Dengan demikian, penting bagi pemerintah untuk menyelaraskan penghargaan simbolik dengan kebijakan yang menjamin kesejahteraan guru. Hal ini akan memungkinkan para pendidik untuk menjalankan peran mereka secara efektif, menjadikan pendidikan sebagai prioritas dengan dukungan nyata dari
para pemangku kebijakan.
Kemudian, ada paradoks beban versus harapan. Di mana guru dituntut untuk menghasilkan generasi yang inovatif dan berdaya saing. Namun tertekan oleh kurikulum yang sering berubah, serta birokrasi yang menghambat kreativitas.
Seringkali, kurikulum yang kaku dan tidak konsisten menciptakan situasi di mana guru merasa tidak memiliki kontrol atas proses pembelajaran.
Tekanan untuk memenuhi standar tinggi tanpa dukungan yang jelas dapat mengarah pada burnout di kalangan guru, mempengaruhi kualitas pendidikan yang diberikan.
Oleh karena itu, diperlukan perbaikan dalam struktur kurikulum serta sikap memberi kepada guru, agar mereka merasa didukung dan mampu berkontribusi lebih dalam pendidikan.
Dimensi Filosofis dan Etis
Dari perspektif filosofis, ini semua berkaitan dengan eksistensi dan relevansi guru dalam masyarakat.
Paradoks otoritas versus keterpinggiran menyoroti, meski guru memiliki posisi otoritas dalam konteks kelas, mereka sering kali tidak terlibat dalam pengambilan keputusan pendidikan yang lebih luas.
Itu mengimplikasikan, suara mereka (para guru) penting. Tetapi sering kali diabaikan, sehingga mengurangi pengaruh mereka dalam kebijakan pendidikan.
Dalam konteks ini, penelitian menunjukkan, keterlibatan guru dalam kebijakan pendidikan meningkatkan kualitas pendidikan, dan membuat kurikulum lebih relevan bagi kebutuhan siswa. Untuk mengatasi tantangan tersebut, perlu adanya sistem dialog yang terbuka antara pemerintah dan pendidik.
Selanjutnya, paradoks idealisme versus realitas, juga menawarkan dimensi reflektif dalam praktik pendidikan.
Disadari, bahwa guru didorong untuk menanamkan nilai-nilai luhur dalam proses belajar. Namun terhambat oleh kenyataan pragmatis yang sering memprioritaskan hasil jangka pendek di atas pertumbuhan karakter siswa.
Dalam hal ini, etika profesi guru menjadi kunci untuk menavigasi konflik antara idealisme pendidikan dan tekanan realitas.
Oleh karena itu, pengembangan etos profesi yang kuat di antara guru diperlukan untuk mendukung praktik pedagogis yang sejalan dengan nilai-nilai yang ingin ditanamkan kepada generasi mendatang.
Implikasi bagi Pendidikan Indonesia
Implicasi dari refleksi ini adalah perlunya kebijakan pendidikan yang lebih mendalam dan terintegrasi.
Pertama, perlu adanya betonasi kebijakan yang seimbang antara penghormatan dan kesejahteraan bagi guru (Utaminingsih & Rachmawaty, 2023). Inisiatif yang dapat diambil, misalnya peningkatan tunjangan, program pelatihan berkelanjutan, dan pemberian otonomi dalam pengajaran.
Kedua, sekolah-sekolah perlu menciptakan budaya organisasi. Di mana guru dapat berdiskusi dan berkolaborasi. Sehingga memungkinkan mereka untuk mengeksplorasi berbagai metode pembelajaran yang lebih bebas dan kreatif.
Melalui implementasi langkah-langkah ini, kita akan dapat mendekati paradoks yang dihadapi pendidik dan menjadikan Hari Guru sebagai momentum refleksi yang nyata bagi semua pemangku kepentingan di bidang pendidikan.
Kesimpulan
Refleksi Hari Guru Indonesia mengajak kita untuk menyadari, bahwa paradoks yang dialami pendidik bukan sekadar tantangan. Melainkan, juga merupakan kesempatan untuk melakukan perubahan yang positif.
Dengan memahami dan mengatasi setiap paradoks yang dihadapi, kita
dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih baik bagi guru dan siswa.
Kebijakan yang menyeluruh dan sistematis, bersama dengan pengakuan nyata terhadap peran guru, dapat
berkontribusi pada perbaikan kualitas pendidikan di Indonesia.
Momen ini seharusnya tidak hanya menjadi seremonial, tetapi juga sebuah langkah awal menuju perubahan yang lebih baik. SELAMAT HARI GURU. (*)