Jakarta, Sinata.id — Sebuah penelitian terbaru dari BBC Media Action mengungkapkan paradoks dalam pola konsumsi informasi di Indonesia. Studi tersebut menunjukkan bahwa generasi muda perkotaan dengan tingkat pendidikan tinggi justru lebih rentan terpengaruh misinformasi yang beredar di ruang digital.
Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif dengan melibatkan responden dari lima pulau besar di Indonesia. Sampel terbanyak berasal dari Pulau Jawa (45%), disusul Sumatra (22%), serta Kalimantan, Bali-Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Papua. Melalui cakupan wilayah yang luas, riset ini bertujuan memetakan tingkat paparan serta cara masyarakat mengakses informasi, termasuk hoaks.
“Setiap wilayah memiliki karakteristik yang berbeda dalam mengonsumsi informasi. Misalnya, masyarakat di Papua dan Sulawesi relatif masih mengandalkan media konvensional ketimbang media sosial. Temuan ini penting untuk merumuskan intervensi yang tepat dalam menangkal misinformasi,” jelas Rosiana Eko, Research Manager BBC Media Action, saat memaparkan hasil riset dalam Bisnis Indonesia Forum bertajuk “Integritas Media Massa di Tengah Maraknya Mis/Disinformasi” di Jakarta, Kamis (21/8/2025).
Riset ini menemukan bahwa mayoritas masyarakat belum sepenuhnya menyadari risiko ketika mengakses media sosial. Sebanyak 69% responden tercatat menggunakan media sosial setiap hari, sementara 56% lainnya masih menonton televisi sebagai sumber informasi. Dominasi akses digital inilah yang berkontribusi pada tingginya potensi penyebaran misinformasi.
Temuan menarik muncul terkait segmen anak muda dengan aktivitas digital yang tinggi. Sebanyak 26% dari kelompok ini dikategorikan rentan menjadi konsumen misinformasi. “Mereka mudah terpengaruh dan cenderung menerima informasi tanpa verifikasi. Ironisnya, kelompok ini justru berasal dari kalangan muda perkotaan dengan literasi cukup baik,” papar Rosiana.
Menurutnya, kerentanan tersebut dipicu sikap overconfidence terhadap kemampuan literasi informasi. Walaupun mereka mengaku mengutamakan akurasi, rasa percaya diri berlebihan membuat kelompok ini lebih mudah terkecoh oleh konten yang tidak valid.
Di sisi lain, hanya sekitar 19% pengguna aktif digital yang dinilai lebih kritis dalam memilah informasi. “Kelompok ini cenderung memilih membaca langsung dari situs berita resmi sehingga lebih selektif dalam mengonsumsi informasi,” tambah Rosiana. (*)