Sinata.id – Kisah rumah tangga Melda Safitri, perempuan asal Aceh Singkil yang viral usai diceraikan suami jelang pelantikan PPPK, menyisakan fakta lain yang tak kalah menyayat hati. Di balik perceraian itu, rupanya sejak awal pernikahannya Melda sudah hidup di bawah bayang-bayang campur tangan keluarga mertua, dari urusan dapur hingga keputusan rumah tangga.
Tekanan yang terus datang dari lingkungan keluarga suami perlahan mengikis keharmonisan mereka, hingga akhirnya meledak menjadi pertengkaran yang berujung pada talak tiga.
Di tengah harunya video seorang perempuan menangis sambil memeluk dua anaknya di Aceh Selatan, tersimpan kisah getir tentang campur tangan keluarga yang menggerogoti rumah tangga dari dalam.
Perempuan itu adalah Melda Safitri, istri yang diceraikan suaminya hanya dua hari sebelum sang pria dilantik sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Baca Juga: Melda Safitri Dicerai Suami Usai Lolos PPPK, Tangisnya Bikin Warganet Terpukul
Fitri menceritakan bagaimana pernikahannya yang berlangsung sejak 2020 semula ia yakini sebagai awal kehidupan baru yang penuh harapan. Namun belum lama menikah, hubungan dengan keluarga suami menjadi sumber tekanan tersendiri.
Ia menuturkan bahwa sejak awal, ibunda sang suami tidak sepenuhnya merestui pernikahan mereka. “Dulu waktu kami menikah, memang ibu mertua tidak terlalu setuju. Tapi saya tetap berusaha menghormati, karena dia orang tua,” kata Fitri, dikutip Rabu (22/10/2025).
Perlahan, campur tangan sang mertua mulai terasa dalam setiap keputusan rumah tangga, dari urusan dapur hingga hal-hal pribadi. Fitri bahkan mengaku sering menjadi bahan gunjingan karena dianggap menundukkan suaminya.
“Saya Dibilang Membudakkan Anak Orang”
Fitri sempat melihat suaminya membantu mencuci piring di rumah. Namun kebaikan kecil itu justru menjadi bahan omongan.
“Dia bantu saya nyuci piring, malah dibilang ke orang-orang, katanya anaknya saya budakkan. Sampai tetangga pun dengar,” ucap Fitri.
Ujaran itu menyebar cepat di lingkungan tempat mereka tinggal. Ia merasa semakin tersudut, bukan hanya karena miskin secara ekonomi, tapi juga karena tidak pernah benar-benar diterima di keluarga suaminya sendiri.
“Awalnya saya diam saja, tapi lama-lama saya merasa diinjak. Saya hanya mau hidup tenang, tapi setiap langkah selalu diawasi dan diatur,” tuturnya.
Dari Pertengkaran Kecil Hingga Talak Tiga
Ketegangan dalam rumah tangga itu akhirnya meledak pada 14 Agustus 2025. Suami Fitri pulang kerja dalam keadaan lelah, dan langsung marah karena tidak menemukan lauk di meja makan.
“Saya sudah jelaskan, kami memang tidak ada uang untuk beli lauk. Tapi dia langsung marah, dan kata-katanya kasar sekali,” cerita Fitri.
Pertengkaran malam itu menjadi puncak dari akumulasi tekanan yang ia alami. Bukan hanya dari suaminya, tapi juga dari lingkungan keluarga besar yang terus menilai dan menekan.
Saat Fitri tengah mencuci piring, suaminya mengemasi pakaian, meminjam sepeda motor tetangga, lalu menjatuhkan talak tiga secara lisan di depan pintu rumah.
“Dia bilang, ‘Kamu Fitri, saya ceraikan satu, dua, tiga,’ lalu pergi bawa bajunya,” kenang Fitri.
Baca Juga: Wanita di Lampung Tebas Kemaluan Pacar Gara-Gara Ditinggal Nikah
Ditinggal Saat Suami Naik Jabatan
Tiga hari setelah kejadian itu, sang suami dilantik sebagai PPPK. Ironisnya, Fitri-lah yang sebelumnya membelikan atribut Korpri untuk pelantikan itu, dari hasil berjualan gorengan dan sayuran di pasar.
“Bajunya dia pesan di Shopee, tapi saya yang bayar. Uangnya dari hasil jual cabai. Saya bantu dia dari nol, tapi justru saya ditinggal begitu saja,” ungkapnya.
Kini, Fitri hidup di rumah orang tuanya bersama dua anaknya yang masih kecil. Ia berjualan gorengan di depan rumah demi menghidupi keluarganya.
“Kalau memang mau cerai, kenapa tidak dari dulu? Kenapa setelah punya jabatan baru ingat menceraikan saya?” katanya getir.
Fitri tak menampik bahwa persoalan ekonomi hanyalah pemicu kecil. Baginya, masalah sebenarnya adalah intervensi keluarga suami yang membuat hubungan mereka tak pernah sehat.
“Kalau ada apa-apa, suami saya selalu cerita ke ibunya dulu. Kadang bukan kami yang memutuskan, tapi orang rumahnya. Saya jadi serba salah, salah bicara dikit bisa dibesar-besarkan,” ujarnya.
Tekanan itu membuat Fitri merasa seolah berada di dua medan perang, di luar rumah melawan kerasnya hidup, dan di dalam rumah melawan ego serta campur tangan keluarga suami. [zainal/a46]