Jakarta, Sinata.id – Nilai tukar rupiah menghadapi drama naik-turun pada perdagangan Jumat (26/9/2025). Dibuka melemah di level Rp16.750 per dolar AS, rupiah sempat terperosok hingga menyentuh Rp16.790. Namun, menjelang penutupan, rupiah berhasil bangkit dan ditutup menguat tipis di posisi Rp16.725 per dolar, atau terapresiasi 0,06 persen.
Perubahan arah ini sekaligus mematahkan tren pelemahan rupiah yang berlangsung enam hari beruntun. Meski penguatan hanya tipis, pasar menilai langkah ini sebagai sinyal bahwa intervensi Bank Indonesia mulai menunjukkan hasil.
Tekanan Berat dari Ekonomi AS dan Tarif Baru Trump
Sebelumnya, rupiah tidak lepas dari tekanan eksternal. Data ekonomi Amerika Serikat yang dirilis pekan ini menunjukkan ketahanan lebih kuat dari perkiraan. Produk domestik bruto kuartal II 2025 direvisi naik menjadi 3,8 persen, jauh di atas estimasi awal 3,3 persen. Data ini mempertegas sinyal bahwa The Federal Reserve tidak akan gegabah memangkas suku bunga.
Kondisi diperburuk dengan kebijakan Presiden Donald Trump yang mengenakan tarif impor baru hingga 100 persen untuk produk farmasi, kendaraan truk besar, hingga furnitur. Kebijakan itu memicu kecemasan global, membuat investor menghindari risiko, dan memperkuat dolar AS di pasar internasional.
Bank Indonesia Turun Tangan
Di tengah tekanan tersebut, Bank Indonesia bergerak agresif. Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan bank sentral menggunakan semua instrumen—mulai dari intervensi di pasar spot, DNDF, hingga pembelian SBN. Intervensi bahkan dilakukan di pasar luar negeri Asia, Eropa, dan Amerika untuk meredam gejolak.
“Bank Indonesia melakukan langkah bold secara berkelanjutan demi menjaga stabilitas rupiah,” tegas Perry.
Kehadiran BI di pasar inilah yang dinilai menjadi faktor kunci di balik pembalikan rupiah menjelang penutupan perdagangan Jumat sore.
Sentimen Domestik Masih Membayangi
Meski berhasil menutup perdagangan di zona hijau, rupiah tetap menghadapi tantangan serius. Proyeksi ekonomi domestik menunjukkan perlambatan tajam di kuartal III, dengan pertumbuhan diperkirakan hanya 0,95 persen quarter-to-quarter, jauh menurun dibanding 4,04 persen pada kuartal sebelumnya.
Tekanan juga muncul dari ekspektasi bahwa BI Rate masih akan diturunkan sekali lagi ke level 4,5 persen hingga akhir tahun, yang berpotensi mengurangi daya tarik rupiah di mata investor asing.
Kini pasar menanti rilis data inflasi PCE AS, indikator favorit The Fed, yang akan diumumkan Jumat malam waktu Washington. Jika angka inflasi kembali tinggi, dolar AS berpeluang menguat lagi dan menjadi ujian berikutnya bagi rupiah pada pekan depan.
Rupiah sempat jatuh, namun mampu membalikkan keadaan di menit-menit akhir perdagangan. Meski penguatan tipis ini memberi napas segar, tekanan global dan perlambatan ekonomi dalam negeri masih akan membayangi langkah rupiah di hari-hari berikutnya. (A46)
sumber: cnbc | indopremier