Beijing, Sinata.id – Ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan China kembali meningkat setelah Beijing mengumumkan kebijakan tarif balasan terhadap barang-barang asal AS. Keputusan ini diambil pada Jumat, 4 April 2025, sebagai respons langsung atas langkah Presiden AS Donald Trump yang menerapkan tarif impor baru terhadap berbagai negara, termasuk China.
Perang Dagang Amerika Serikat – China
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Guo Ji, menyatakan bahwa kebijakan tarif baru dari Washington melanggar aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan merusak sistem perdagangan multilateral. “Kenaikan tarif sepihak Amerika Serikat jelas merugikan kepentingan bersama semua negara dan tidak membantu menyelesaikan masalah ekonomi mereka sendiri,” ujar Guo, seperti dikutip Sinata.id, Kamis, 10 April 2025.
Kebijakan Tarif Baru dari AS
Pada Rabu, 2 April 2025, Presiden Donald Trump mengumumkan pemberlakuan tarif impor tambahan terhadap sejumlah negara, termasuk mitra dagang utama seperti Uni Eropa, Jepang, dan China. Untuk barang-barang asal China, AS menerapkan tarif tambahan sebesar 34%, sehingga total tarif yang dikenakan terhadap produk China kini mencapai 54%.
Dalam pidatonya di Gedung Putih, Trump menyatakan bahwa kebijakan ini merupakan bagian dari upayanya untuk mengembalikan kejayaan industri Amerika. Bahkan, ia menamai hari pengumuman tarif tersebut sebagai “Liberation Day” atau “Hari Pembebasan” bagi industri AS. Selain China, Uni Eropa dan Jepang dikenakan tarif masing-masing sebesar 20% dan 24%, sementara Inggris dikenai tarif 10%.
Respons Tegas dari China
Sebagai langkah balasan, pemerintah China mengumumkan tarif impor sebesar 34% terhadap seluruh produk asal AS mulai Jumat, 4 April 2025. Tarif ini jauh lebih tinggi dibandingkan tarif sebelumnya yang berkisar antara 10-15%.
Selain menerapkan tarif balasan, China juga mengambil langkah strategis lain, di antaranya:
- Menggugat kebijakan tarif AS ke WTO, dengan alasan bahwa tindakan Washington tidak adil dan bertentangan dengan aturan perdagangan internasional.
- Menambahkan 11 perusahaan AS ke dalam daftar entitas yang tidak dapat diandalkan, yang melarang mereka berbisnis di China.
- Memasukkan 16 perusahaan AS ke dalam daftar kontrol ekspor, membatasi akses mereka terhadap sumber daya penting dari China.
- Membatasi ekspor mineral tanah jarang, komponen utama dalam industri teknologi tinggi, termasuk produksi kendaraan listrik.
- Menangguhkan impor produk pertanian tertentu, seperti kedelai, sorgum, unggas, dan tepung tulang dari perusahaan-perusahaan AS.
Kementerian Keuangan China mengecam kebijakan tarif AS dan menegaskan bahwa langkah tersebut tidak hanya merugikan China tetapi juga mengancam stabilitas ekonomi global serta rantai pasokan dunia. Beijing mendesak Washington untuk membatalkan tarif dan kembali ke meja perundingan guna menyelesaikan sengketa dagang secara adil dan saling menguntungkan.
Dampak Global dan Sikap Negara Lain
Kebijakan tarif AS memicu reaksi keras dari berbagai negara. Uni Eropa, Kanada, dan Australia secara terbuka mengecam kebijakan tersebut dan mengancam akan melakukan langkah balasan diplomatik maupun ekonomi.
Perdana Menteri Kanada, Mark Carne, mengumumkan bahwa Kanada akan mengenakan bea masuk 25% terhadap kendaraan asal AS yang tidak memenuhi syarat dalam perjanjian perdagangan bebas antara Kanada, AS, dan Meksiko (USMCA). Sementara itu, Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese, menyebut tarif 10% terhadap negaranya sebagai “tindakan tidak berdasar” yang merusak hubungan perdagangan bilateral.
Di Indonesia, pemerintah hingga kini belum menyampaikan sikap resmi terkait kebijakan tarif AS. Wakil Menteri Perdagangan Diah Roro Siti dan Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi belum memberikan tanggapan apakah Presiden Prabowo Subianto telah mengadakan rapat khusus terkait situasi ini.
Namun, Menteri Perdagangan Budi Santoso melalui akun Instagram resminya menyatakan bahwa pemerintah telah melakukan rapat koordinasi sejak 2 April 2025 untuk membahas langkah strategis menghadapi kebijakan tarif AS. Meski demikian, detail hasil rapat tersebut belum diungkapkan ke publik.
Dampak Ekonomi: Minyak Anjlok, Pasar Saham Terpukul
Ketegangan perdagangan antara AS dan China memberikan dampak signifikan terhadap pasar keuangan global. Harga minyak dunia anjlok 8% pada Jumat, 4 April 2025, mencapai titik terendah sejak puncak pandemi COVID-19. Harga minyak mentah Brent turun 7,6% menjadi $64,84 per barel, sementara minyak mentah AS West Texas Intermediate (WTI) turun 8,2% menjadi $61,48 per barel.
Di pasar saham, indeks-indeks utama di Wall Street mengalami tekanan besar. Saham teknologi, termasuk Apple, mengalami penurunan drastis hingga 7%, sementara indeks S&P 500 mencatat penurunan terbesar dalam lebih dari dua tahun terakhir.
Di Eropa, indeks FTSE di Inggris turun 3,96%, DAX Jerman anjlok 4,72%, dan CAC 40 Prancis terkoreksi 3,9%. Indeks saham Asia juga mengalami penurunan, dengan Hang Seng Hong Kong turun 1,52%, Nikkei Jepang melemah 2,80%, dan indeks Shanghai turun 0,24%.
Perang dagang antara AS dan China semakin memanas dengan kebijakan tarif balasan yang diterapkan kedua negara. Langkah ini tidak hanya berdampak pada hubungan bilateral kedua negara tetapi juga mengguncang pasar keuangan global dan mengancam stabilitas ekonomi dunia.
China menegaskan bahwa mereka tidak mencari konfrontasi tetapi tidak akan ragu untuk melindungi kepentingannya. Sementara itu, berbagai negara termasuk Uni Eropa, Kanada, dan Australia mulai mempertimbangkan langkah-langkah perlindungan terhadap dampak kebijakan tarif AS. Kini, dunia menantikan apakah Washington dan Beijing akan kembali ke meja perundingan atau perang dagang ini akan semakin meluas dan memperburuk ketidakpastian ekonomi global. [ze]