Zaman dahulu Kota Medan dikenal dengan nama Tanah Deli. Keadaan tanahnya berawa-rawa. Luasnya kurang lebih 4.000 hektar. Berikut ini sejarah Kota Medan sebagaimana dilansir dari Wikipedia.
Banyak sungai yang melintasi Kota Medan. Sungai-sungai itu, seluruhnya bermuara ke Selat Malaka. Seperti Sei Deli, Sei Babura, Sei Sikambing, Sei Denai, Sei Putih, Sei Badra, Sei Belawan dan Sei Sulang Saling/Sei Kera.
Dalam buku sejarah Kota Medan, dituliskan, pelabuhan telah ada pada tahun 1590. Dalam Riwayat Hamparan Perak yang dokumen aslinya ditulis dalam aksara Karo pada rangkaian bilah bambu, tercatat Guru Patimpus, tokoh masyarakat Karo, sebagai orang yang pertama kali membuka “desa” yang diberi nama Medan.
Namun, naskah asli Riwayat Hamparan Perak yang tersimpan di rumah Datuk Hamparan Perak terakhir telah hangus terbakar ketika terjadi kerusuhan sosial, pada 4 Maret 1946.
Patimpus adalah pemimpin Karo yang tinggal di Kampung Pekan (Pakan). Ia menolak menggantikan ayahnya, karena lebih tertarik pada ilmu pengetahuan dan mistik. Hingga ia lebih dikenal sebagai Guru Patimpus.
Antara tahun 1614-1630 Masehi, ia belajar agama Islam dan diislamkan oleh Datuk Kota Bangun, setelah kalah dalam adu kesaktian. Selanjutnya Guru Patimpus menikah dengan adik Tarigan, pemimpin daerah yang sekarang bernama Pulau Brayan, lalu membuka Desa Medan yang terletak di antara Sungai (Sei) Babura dan Sungai Deli. Dia pun memimpin desa tersebut.
Guru Patimpus Sembiring Pelawi pada tahun 1590 kemudian dipandang sebagai pembuka sebuah kampung yang bernama Medan Puteri. Hanya saja, data tentang Guru Patimpus sebagai pendiri Kota Medan sangat minim.
Lokasinya terletak di Tanah Deli, maka sejak zaman penjajahan, orang selalu merangkaikan Medan dengan Deli (Medan–Deli). Setelah zaman kemerdekaan lama kelamaan istilah Medan Deli secara berangsur-angsur lenyap sehingga akhirnya kurang popular.
Dahulu orang menamakan Tanah Deli mulai dari Sungai Ular (Deli Serdang) sampai ke Sungai Wampu di Langkat. Sedangkan Kesultanan Deli yang berkuasa pada saat itu, wilayah kekuasaannya tidak mencakup daerah di antara kedua sungai tersebut.
Secara keseluruhan jenis tanah di wilayah Deli terdiri dari tanah liat, tanah pasir, tanah campuran, tanah hitam, tanah coklat dan tanah merah. Hal ini merupakan penelitian dari Van Hissink tahun 1900 yang dilanjutkan oleh penelitian Vriens tahun 1910, bahwa di samping jenis tanah seperti tadi, masih ada lagi ditemui jenis tanah liat yang spesifik.
Tanah liat inilah pada masa penjajahan Belanda yang bernama Bakaran Batu (sekarang Medan Tenggara atau Menteng), temlat orang membakar batu bata yang berkualitas tinggi. Salah satu pabrik batu bata pada zaman itu adalah Deli Klei.
Mengenai curah hujan di Tanah Deli digolongkan dua macam, yakni: Maksima Utama dan Maksima Tambahan.
Maksima Utama terjadi pada bulan-bulan Oktober s/d bulan Desember, sedang Maksima Tambahan antara bulan Januari sampaj dengan September. Secara rinci curah hujan di Medan rata-rata 2000 pertahun dengan intensitas rata-rata 4,4 mm/jam.
Menurut Volker pada tahun 1860, Medan masih merupakan hutan rimba, dan di sana sini terutama di muara-muara sungai diselingi pemukiman-pemukiman penduduk yang berasal dari Karo dan semenanjung Malaya.
Pada tahun 1863, Belanda mulai membuka kebun Tembakau di Deli yang sempat menjadi primadona Tanah Deli. Sejak saat itu perekonomian terus berkembang. Sehingga Medan pun menjadi kota pusat pemerintahan dan perekonomian di Sumatera Utara.
Pada awal perkembangannya merupakan sebuah kampung kecil bernama “Medan Putri”. Perkembangan Kampung “Medan Putri” tidak terlepas dari posisinya yang strategis, karena terletak di pertemuan sungai Deli dan sungai Babura, tidak jauh dari Jalan Putri Hijau saat ini.
Kedua sungai itu, pada zaman dahulu merupakan jalur lalu lintas perdagangan yang cukup ramai. Hak itu membuat, Kampung “Medan Putri” yang merupakan cikal bakal Kota Medan, berkembang pesat menjadi pelabuhan transit yang sangat penting.
Semakin lama semakin banyak orang yang berdatangan ke kampung ini. Dan isteri Guru Patimpus yang mendirikan kampung Medan melahirkan anaknya yang pertama seorang laki-laki dan dinamai si Kolok.
Mata pencarian orang di Kampung Medan yang mereka namai dengan si Sepuluh dua Kuta adalah bertani menanam lada. Tidak lama kemudian lahirlah anak kedua Guru Patimpus dan anak inipun laki-laki dinamai si Kecik.
Keterangan yang menguatkan adanya Kampung Medan, adalah keterangan H Muhammad Said yang mengutip melalui buku Deli: In Woord en Beeld ditulis oleh N. ten Cate.
Keterangan tersebut mengatakan, bahwa dahulu kala Kampung Medan ini merupakan Benteng dan sisanya masih ada terdiri dari dinding dua lapis berbentuk bundaran yang terdapat dipertemuan antara dua sungai, yakni Sungai Deli dan Sungai Babura. Rumah Administrateur terletak di seberang sungai dari kampung Medan.
Kalau diperhatikan, bahwa letak dari Kampung Medan adalah di Wisma Benteng sekarang, dan rumah Administrateur tersebut adalah Kantor PTP IX Tembakau Deli sekarang ini.
Sekitar tahun 1612 setelah dua dasawarsa berdiri Kampung Medan, Sultan Iskandar Muda yang berkuasa di Kesultanan Aceh mengirim Panglimanya bernama Gocah Pahlawan yang bergelar Laksamana Kuda Bintan untuk menjadi pemimpin yang mewakili kerajaan Aceh di Tanah Deli.
Gocah Pahlawan membuka negeri baru di Sungai Lalang, Percut. Selaku Wali dan Wakil Sultan Aceh serta dengan memanfaatkan kebesaran imperium Aceh, Gocah Pahlawan berhasil memperluas wilayah kekuasaannya.
Wilayah kekuasaan Gocah Pahlawan hingga meliputi Kecamatan Percut Sei Tuan dan Kecamatan Medan Deli sekarang. Dia juga mendirikan kampung-kampung, seperti Gunung Klarus, Sampali, Kota Bangun, Pulau Brayan, Kota Jawa, Kota Rengas Percut dan Sigara-gara.
Dengan tampilnya Gocah Pahlawan, mulailah berkembang Kerajaan Deli dan tahun 1632 Gocah Pahlawan kawin dengan Nang Baluan beru Surbakti yang merupakan putri Datuk Sunggal bergelar Sri Indra Baiduzzaman Surbakti. Setelah perkawinan, Raja-raja urung di kuta Medan menyerah pada Gocah Pahlawan. Dimana urung-urung tersebut, tetap merdeka, dengan tidak membayar upeti kepada Raja Deli.
Gocah Pahlawan wafat pada tahun 1653, dan digantikan oleh puteranya Tuangku Panglima Perunggit, yang kemudian memproklamirkan kemerdekaan Kesultanan Deli dari Kesultanan Aceh pada tahun 1669, dengan ibu kotanya di Labuhan, kira-kira 20 km dari Medan. (*)
Sumber: Wikipedia