Sinata.id – Pematangsiantar atau Siantar, sebuah kota yang di mata banyak orang hanyalah sekadar kota persinggahan sebelum sampai ke Danau Toba. Dengan julukan “Kota Para Ketua”, Siantar lebih dari sekadar kota transit.
Kota Siantar adalah ruang hidup yang penuh kenangan bagi siapapun yang lahir di sini, dari mulai sekolah pertama tempat belajar mengeja, jalan-jalan yang menjadi saksi langkah kecil saat berangkat ke sekolah dasar, hingga suasana malam kota yang hangat dengan sapaan akrab: “Ketua.”
Seiring bertambah usianya, rasa penasaran tentang kota inipun semakin dalam. Di balik modernisasi yang terus berlangsung, gedung-gedung baru, kafe, pusat belanja, Siantar tetap menyimpan jejak panjang sejarah yang tak bisa dihapus.
Bangunan tua bergaya kolonial masih berdiri kokoh di sejumlah sudut kota, sebagian digunakan untuk kantor, sebagian lainnya untuk rumah tinggal, dan ada pula yang dibiarkan menua bersama waktu.
Setiap kali melintasi bangunan itu, kerap muncul pertanyaan: bagaimana awal mula kota ini terbentuk? Mengapa disebut Pematangsiantar? Bagaimana kehidupan orang-orang di masa lalu, ketika kota ini masih dalam genggaman kerajaan, lalu Belanda, hingga Jepang? Pertanyaan-pertanyaan itu membuat penasaran untuk ditelusuri jejak sejarahnya.
Sejarah Kota Pematangsiantar
Sejarah Kota Siantar berawal jauh sebelum istilah “kota” hadir. Wilayah ini dulunya merupakan bagian dari Kerajaan Siantar, dipimpin oleh marga Damanik, salah satu klan besar etnis Batak Simalungun. Nama Tuan Sangnawaluh Damanik dikenal sebagai raja terakhir yang memerintah secara merdeka sebelum Belanda masuk.
Nama “Pematangsiantar” sendiri memiliki akar geografis dan historis. Dahulu, daerah ini dikenal sebagai Pulau Holing, yang kini menjadi Kampung Pematang. Dari titik inilah pemukiman-pemukiman kecil berkembang:
-
Siantar Bayu, yang kelak menjadi inti kota.
-
Suhi Kahean, berkembang menjadi Sipinggol-pinggol, Melayu, Martoba, Sukadame, hingga Bane.
-
Suhi Bah Bosar, yang melahirkan Kampung Kristen, Karo, Tomuan, Pantoan, Toba, dan Marimbang.
Bahkan hingga kini, wilayah-wilayah tersebut masih eksis dan menjadi bagian dari denyut kehidupan kota. Tanpa disadari, masyarakat yang tinggal di kota adalah pewaris sejarah panjang yang menjadi fondasi terbentuknya Pematangsiantar.
Kerajaan Siantar
Kerajaan Siantar adalah satu dari sekian kerajaan kecil di Tanah Simalungun. Sebagai keturunan marga Damanik, para raja di Siantar dihormati karena kebijaksanaan dan kekuatan mereka. Tuan Sangnawaluh Damanik, raja terakhir yang berkuasa, dikenang bukan hanya sebagai pemimpin, tetapi juga simbol perlawanan terhadap kolonialisme.
Meski akhirnya kerajaan runtuh akibat masuknya Belanda pada awal abad ke-20, keturunan Damanik tetap diakui secara simbolis oleh masyarakat Simalungun hingga kini. Kehadiran mereka menjadi pengingat bahwa Pematangsiantar pernah berdiri sebagai pusat kekuasaan lokal sebelum berubah menjadi kota kolonial.
Bagi warga lokal, mendengar nama Damanik selalu menimbulkan rasa hormat. Seolah-olah ada ikatan emosional yang menghubungkan generasi sekarang dengan para leluhur yang dahulu menjaga tanah ini.
Masa Kolonial
Tahun 1907 menjadi titik balik pemerintahan kerajaan Siantar berakhir, dan Belanda resmi menguasai wilayah ini. Belanda menempatkan pusat pemerintahan kolonial mereka di Siantar.
Di masa itu, Pematangsiantar menjadi magnet bagi pendatang. Etnis Tionghoa mulai menetap di kawasan Timbang Galung, etnis India di Tanah Jawa, serta komunitas Melayu di Kampung Melayu. Kehadiran mereka membawa warna baru dalam dinamika sosial dan ekonomi.
Secara administratif, Belanda membentuk Panitia Persiapan Kota pada 1910. Lalu pada 1 Juli 1917, Pematangsiantar resmi ditetapkan sebagai Gemeente melalui Stadblad No. 285. Inilah titik lahirnya kota modern versi kolonial. Pada 1939, struktur Dewan Kota kembali diubah lewat Stadblad No. 717, menegaskan status kota ini sebagai pusat administrasi penting.
Bangunan-bangunan bergaya art deco yang masih berdiri hingga kini adalah saksi dari periode itu. Ketika melewati kawasan Jalan Merdeka atau pusat kota, siapapun terkesima melihat arsitektur tua yang kontras dengan toko-toko modern di sekitarnya. Seakan ada dua zaman yang bertemu dalam satu ruang.
Pendudukan Jepang
Perang Dunia II mengubah segalanya. Belanda tumbang, dan Jepang mengambil alih kekuasaan. Mereka membubarkan struktur pemerintahan kolonial Belanda dan menggantinya dengan sistem Siantar State.
Walau hanya berlangsung tiga tahun, masa pendudukan Jepang meninggalkan trauma. Cerita dari generasi tua sering menyebut kerja paksa, penyiksaan, dan kekurangan pangan. Bangunan yang dulu menjadi markas tentara Jepang kini ada yang sebagian masih kokoh berdiri, ada juga beralih fungsi.
Setiap kali melihat bangunan peninggalan Jepang, selalu ada rasa ngeri sekaligus kagum. Ngeri membayangkan penderitaan rakyat di masa itu, tetapi kagum bahwa masyarakat Siantar mampu bertahan melewati cobaan yang berat.
Masa Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka pada 1945, Pematangsiantar resmi berstatus sebagai kota otonom. Namun perubahan besar terjadi pada 1974, ketika kota ini ditetapkan sebagai kecamatan tingkat II sekaligus ibu kota Kabupaten Simalungun. Sejak saat itu, kota berkembang pesat sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi.
Kini, Pematangsiantar terbagi menjadi delapan kecamatan: Siantar Marihat, Marimbun, Selatan, Barat, Utara, Timur, Martoba, dan Sitalasari. Pembagian ini bukan hanya soal administrasi, melainkan juga penanda betapa luas dan kompleksnya dinamika sosial kota.
Kota Para Ketua
Julukan “Kota Para Ketua” bukanlah isapan jempol. Sapaan “Ketua” terbiasa terdengar di mana-mana, baik di warung kopi, di pasar, bahkan di ruang-ruang pemerintahan.
Tak sedikit yang mengira sapaan ini hanya candaan atau kebiasaan anak muda. Namun semakin lama, istilah ini semakin mencerminkan kultur egaliter masyarakat Siantar.
Di sini, “Ketua” tidak selalu berarti pemimpin formal. Bisa juga sebagai bentuk penghormatan sekaligus keakraban, sebuah cara unik masyarakat kota ini menyapa sesama.
Fenomena ini pada akhirnya menjadi identitas sosial yang khas, yang membedakan Siantar dari kota-kota lain di Sumatera Utara.
Kehidupan Harmonis
Salah satu hal yang paling membanggakan dari Siantar adalah keberagamannya. Masyarakat Batak Toba dan Simalungun memang mendominasi, tetapi komunitas Jawa, Tionghoa, Minangkabau, India, Aceh, dan masih banyak lagi, juga berkontribusi membentuk wajah kota.
Menurut sensus 2010, mayoritas penduduk menganut Kristen (51,25%), disusul Islam (43,9%), serta Buddha, Hindu, dan Konghucu. Keharmonisan antaragama ini tercermin dari keberadaan gereja, masjid, vihara, kuil, dan klenteng yang berdiri berdampingan di berbagai sudut kota.
Bahasa yang digunakan pun beragam: Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, Batak Toba dan Simalungun di pergaulan sehari-hari, Jawa di lingkungan komunitas Jawa, hingga Hokkien dan Tamil di kalangan etnis Tionghoa dan India.
Sebagai warga yang besar di tengah keberagaman ini, pastilah merasa beruntung. Sebab, sejak kecil mereka diajarkan bahwa perbedaan bukanlah pemisah, melainkan kekayaan yang harus dirawat.
Cap Badak
Perekonomian Pematangsiantar berkembang pesat sejak awal abad ke-20. Industri minuman legendaris “Cap Badak” menjadi salah satu bukti nyata.
Diproduksi sejak 1916 oleh PT Pabrik Es Siantar, minuman berkarbonasi ini diciptakan oleh Heinrich Surbeck, seorang ahli kimia asal Swiss. Hingga kini, Cap Badak tetap menjadi ikon lokal yang tak tergantikan.
Selain industri, sektor perdagangan, hotel, dan restoran juga menyumbang kontribusi besar. Pada tahun 2000, Produk Domestik Bruto (PDB) kota ini mencapai Rp 1,69 triliun, dengan 38,18% berasal dari industri dan 22,77% dari sektor perdagangan.
Dari sisi infrastruktur, Pematangsiantar pernah meraih Piala Adipura (1993) atas kebersihan kota dan Wahana Tata Nugraha (1996) atas pengelolaan lalu lintas. Kedua penghargaan ini menjadi kebanggaan tersendiri, menunjukkan bahwa Siantar bukan kota sembarangan.
Becak BSA
Tidak ada ikon transportasi yang lebih melekat pada Siantar selain becak motor BSA. Motor besar berkapasitas 500 cc ini awalnya merupakan kendaraan perang peninggalan Inggris. Namun warga Siantar mengubahnya menjadi becak bermotor khas yang hingga kini masih beroperasi, meskipun jumlahnya kian menipis.
Suara bising knalpot BSA, ditambah bodinya yang besar, menjadikannya unik dan berbeda. Jangankan wisatawan yang datang dari kota lain, warga lokalpun sering menaikinya menuju pasar atau sekolah. Hingga sekarang, setiap kali mendengar suara “nggereng”-nya di jalan, rasanya seperti kembali ke masa kecil.
Pariwisata
Selain sebagai kota transit menuju Danau Toba, Siantar juga menyimpan destinasi wisata menarik:
-
Taman Hewan Pematangsiantar, dengan koleksi satwa eksotik dan pohon tropis tua.
- Lapangan Merdeka, dengan banyaknya spesies pohon tua yang memberikan udara sejuk di tengah kebisingan kota.
-
Vihara Avalokitesvara, dengan patung Dewi Guanyin setinggi 22,8 meter—tertinggi di Indonesia.
-
Museum Simalungun, yang menyimpan sejarah etnis Simalungun.
-
Siantar Botanic Park dan Siantar Waterpark, destinasi keluarga modern.
-
Patung Becak Siantar, yang melambangkan ikon transportasi kota.
Pariwisata ini memperkaya identitas kota, sekaligus memperkuat posisinya sebagai pintu gerbang menuju Danau Toba.
Tinggal di Pematangsiantar membuat warganya menyadari bahwa kota ini adalah pertemuan antara masa lalu dan masa depan. Sejarah panjangnya, dari kerajaan, kolonial, pendudukan Jepang, hingga kemerdekaan, masih terasa dalam jejak fisik dan budaya.
Namun di sisi lain, modernisasi terus berjalan. Pusat perbelanjaan baru bermunculan, kafe modern tumbuh di berbagai sudut, dan generasi muda aktif berkarya.
Kini, tantangan terbesar bagi kota ini adalah bagaimana menjaga keseimbangan, merawat warisan sejarah tanpa tertinggal dari kemajuan zaman.
Pematangsiantar bukan sekadar kota di peta Sumatera Utara. Ini adalah rumah bagi beragam etnis, saksi sejarah panjang, dan ruang sosial yang penuh dinamika.
Julukan “Kota Para Ketua” hanyalah salah satu identitas, tetapi di balik itu, Siantar adalah kota yang berdiri di atas fondasi pluralitas, perjuangan, dan kebersamaan. (A46)
Referensi:
-
Sejarah, demografi, ekonomi, pariwisata Pematangsiantar (Wikipedia)
-
Tentang pernah menjadi ibu kota Sumatera Utara (Wikipedia & detikcom)
-
Asal-usul nama “Siattar” dan budaya lokal (Liputan6)
-
Informasi ikon “Badak” (Wikipedia)