Toba, Sinata.id– Gelombang perlawanan terhadap keberadaan PT Toba Pulp Lestari (TPL) di kawasan Danau Toba kian membesar. Suara masyarakat, aktivis, dan kalangan hukum kini berpadu dalam satu seruan: “Tutup TPL, Selamatkan Danau Toba!”
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di kantor DPRD Kabupaten Samosir, Kamis (16/10/2025), ratusan pengacara yang tergabung dalam Forum Lintas 100 Pengacara mendesak DPRD membentuk langkah konkret untuk menghentikan seluruh aktivitas TPL yang dinilai telah menimbulkan kerusakan ekologis parah di kawasan Danau Toba.
Ketua Pansus Tutup TPL, Rinaldi Naibaho, menegaskan bahwa forum tersebut menjadi momentum penting untuk menyerap aspirasi publik sekaligus memeriksa dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan akibat aktivitas industri pulp tersebut. “Kami akan turun langsung ke lapangan, termasuk mendatangi kantor TPL di Parmaksian, Kabupaten Toba, guna memastikan fakta-fakta kerusakan yang terjadi,” ujarnya.
Sementara itu, Dr. Edward Pakpahan, SH., MH., Ketua Forum Lintas 100 Pengacara, menilai perjuangan mereka bukan hanya soal menentang korporasi, tetapi tentang menyelamatkan warisan alam Danau Toba bagi generasi mendatang. “Penebangan pohon secara masif telah menyebabkan banjir bandang, tanah longsor, kekeringan, hingga kematian ikan di Danau Toba. Ini bukan isu kecil, ini bencana ekologis nasional,” tegas Edward.
Ia juga mempertanyakan kontribusi TPL terhadap masyarakat lokal. “Selama puluhan tahun beroperasi, apa yang masyarakat dapat? Tidak ada peningkatan ekonomi, tidak ada CSR yang transparan, dan PAD pun nyaris nihil,” tambahnya.
Langkah hukum juga tengah disiapkan. Luhung Girsang, salah satu pengacara yang tergabung dalam forum tersebut, mengungkapkan bahwa tim hukum kini tengah mengumpulkan bukti-bukti kuat untuk membuka kemungkinan gugatan class action terhadap TPL. “Kami akan buktikan di pengadilan bahwa kegiatan mereka telah melanggar prinsip kelestarian lingkungan,” ujarnya.
Senada, Junaidi Barus menyebut bencana alam yang berulang di Kecamatan Sitiotio dan Bonan Dolok menjadi bukti nyata dampak pembabatan hutan. Ia menilai perjuangan ini membutuhkan kolaborasi serius antar elemen masyarakat dan pemerintah daerah.
Dari sisi legislatif, Parluhutan Samosir, anggota DPRD Kabupaten Samosir, menegaskan komitmen lembaganya untuk menindaklanjuti temuan tersebut secara hukum. “Kami membutuhkan data valid dan yuridis agar langkah yang diambil DPRD kuat secara hukum. Faktanya, selama pemerintahan Vandiko, Pemkab Samosir tidak pernah menerima CSR dari TPL,” ungkapnya.
Sementara itu, Ganda Sirait, SH., MH., Ketua Umum LSM Komite Anti Korupsi Indonesia (KAKI) sekaligus Sekretaris Umum Forum Lintas 100 Advokat, menyoroti dampak kerusakan yang luar biasa di Pulau Samosir.
“Penebangan pohon besar-besaran untuk eukaliptus telah menyebabkan penggundulan parah. Ribuan hektar hutan rusak, ekosistem terganggu, dan masyarakat adat kehilangan sumber kehidupan mereka,” ujar Ganda.
Lebih jauh, Ganda menegaskan bahwa tindakan TPL telah melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya Pasal 119 huruf (b), yang mengatur larangan kegiatan yang menimbulkan kerusakan lingkungan dan merugikan masyarakat adat.
“Pemerintah pusat wajib turun tangan mengevaluasi seluruh izin operasional TPL di wilayah Samosir. DPRD melalui Pansus Tutup TPL harus segera memberikan rekomendasi tegas: hentikan operasi TPL di Kabupaten Samosir,” tegasnya.
Gelombang desakan ini menjadi sinyal kuat bahwa masyarakat Toba sudah muak terhadap dominasi korporasi yang mengabaikan kelestarian alam. Jika aspirasi ini tak segera ditindaklanjuti, bukan hanya Danau Toba yang terancam, tetapi juga eksistensi masyarakat adat yang menjadi penjaga terakhir warisan alam Nusantara.
Ganda menambahkan ” Pada tahun 1983, Izin HTI diberikan kepada PT Indorayon, seluas lebih dari 200.000 hektar, tetapi menteri kehutanan atas perintah Presiden Suharto, merubah Status Hutan Lindung yang ada di Tapanuli/ Wilayah Danau Toba menjadi HT ( Hutan Tanaman Industri ), sehingga hutan lebat dengan pohon pohon berusia Ratusan tahun yang berfungsi menjaga sumber air habis di tebang dan digunduli, selain menghilangkan Sumber mata air juga menyebabkan Banjir Bandang dan tanah longsor ” demikian ditambahkan Ganda Sirait, SH, MH, di Kabupaten Samosir. (A1)