Sinata.id – Nama Ferry Irwandi dalam beberapa tahun terakhir semakin sering muncul di ruang publik. Sosok ini dikenal lantang bersuara mengenai berbagai isu, mulai dari kritik sosial, fenomena ekonomi, hingga kebijakan politik.
Tidak jarang pernyataannya menimbulkan kontroversi, seperti klaim bahwa masyarakat yang terlibat dalam kerusuhan seharusnya ditangkap, hingga tantangan terbuka kepada pihak-pihak tertentu yang berseberangan dengannya.
Informasi dirangkum Sinata.id, Rabu (10/9/2025), perjalanan Ferry Irwandi di dunia konten berawal dari kasus Jouska yang sempat ramai diperbincangkan. Ia membuat ulasan dengan pendekatan berbeda, mengaitkan istilah Jouska dalam makna psikologis sekaligus realitas praktik perencanaan keuangan. Dari sana, publik mulai mengenalnya sebagai sosok dengan analisis tajam, sederhana, dan mudah dipahami.
Ferry sendiri merupakan lulusan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) dan pernah bekerja di Kementerian Keuangan pada bagian humas.
Di masa awal, kontennya lebih banyak membahas videografi, sebelum kemudian merambah ke isu-isu ekonomi, sosial, hingga politik.
Dengan gaya sinematografi yang menyerupai dokumenter ala Netflix, penyampaiannya dinilai segar dan komunikatif, seolah sedang berbincang santai di warung kopi.
Topik-topik yang diangkatnya semakin luas, mencakup housing bubble di Amerika Serikat pada 2008, Arab Spring, sistem KPR, kapitalisme, hingga idealisme hidup.
Dari berbagai pembahasan tersebut, citra Ferry Irwandi sebagai sosok intelektual populer mulai terbentuk, bahkan hingga mendapat kesempatan tampil dalam program Close the Door, milik Deddy Corbuzier.
Popularitasnya makin meningkat setelah ia mengangkat isu stoikisme. Julukan “bapak-bapak Stoik” melekat padanya, apalagi setelah ia memutuskan mundur dari status PNS pada 2022. Keputusan itu diapresiasi publik, terlebih ketika kasus gratifikasi pajak mencuat pasca terbongkarnya skandal Mario Dandy.
Tidak berhenti di situ, Ferry kemudian mendirikan Malaka Project, sebuah wadah kolaborasi berbagai influencer dengan misi mendemokratisasi pendidikan digital. Melalui pendekatan ilmiah berbasis data, proyek ini berupaya menyederhanakan gagasan rumit agar lebih mudah dipahami masyarakat luas.
Meski dikenal melalui karya kontennya, Ferry Irwandi juga lekat dengan kontroversi. Ia pernah berdebat terbuka dengan Raymond Chin dan Mardigu mengenai teori ekonomi Modern Monetary Theory (MMT).
Selain itu, ia juga dikenal keras mengkritisi regulasi yang dinilai merugikan publik, seperti aturan TikTok Shop yang dianggap mengancam UMKM, maraknya praktik judi online, hingga penolakan terhadap RUU TNI yang dianggap berpotensi mengembalikan dwifungsi ABRI.
Tidak hanya itu, ia bahkan pernah menantang paranormal untuk membuktikan praktik santet, dengan janji menghadiahkan sebuah mobil Alphard bagi yang berhasil. Aksi ini semakin menegaskan posisinya sebagai figur publik yang berani mengambil risiko demi menyuarakan pandangannya.
“Barang siapa yang bisa membuat gua muntah paku atau menyantet gua, maka dia akan mendapatkan sebuah unit mobil Alphard,” tantang Ferry dalam salah satu kontennya di kanal Youtube.
Walau kerap bersikap kritis, Ferry juga mendukung kebijakan pemerintah yang dianggapnya tepat, salah satunya terkait Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).
Keberadaannya dalam aksi-aksi massa pun memperkuat citra sebagai bagian dari suara rakyat. Ia kerap mengingatkan demonstran untuk menjaga ketertiban serta mengecam tindakan represif aparat.
Kehadirannya di layar televisi nasional, termasuk perdebatan terbuka dengan sejumlah tokoh, semakin memantapkan posisinya sebagai figur yang tidak bisa diabaikan dalam diskursus publik.
Bagi banyak warganet, Ferry Irwandi bukan sekadar kontroversial. Ia dianggap mampu membawa tradisi diskursus ke ruang digital, menghadirkan pembahasan isu-isu serius dengan cara yang dapat diakses masyarakat umum. Dukungan publik yang besar membuatnya tetap relevan, meskipun kritik keras kerap menghampirinya.
Spekulasi Netizen tentang Bekingan Ferry Irwandi
Kehadiran Ferry di tengah demonstrasi mahasiswa dan masyarakat sipil, serta keberaniannya berdebat terbuka di televisi nasional, memunculkan spekulasi.
Tidak sedikit yang menduga ia mendapat dukungan dari kelompok politik atau pihak berpengaruh tertentu.
Namun, bagi sebagian warganet, pertanyaan ini justru menyingkap pola lama di politik Indonesia, ketika ada figur kritis, publik cenderung mencari-cari “bekingan Ferry Irwandi” atau aktor di belakangnya.
Ferry sendiri kerap menegaskan bahwa keberaniannya bersuara bukan karena bekingan atau figur tersembunyi, melainkan berangkat dari kesadaran pribadi dan aspirasi masyarakat yang merasa terwakili.
Di balik sosoknya yang tegas, Ferry Irwandi menunjukkan bahwa setiap warga berhak menyampaikan pandangan, tanpa harus dikaitkan dengan kepentingan kelompok tertentu. Identitasnya dibangun dari pemikiran, perjuangan, dan kepercayaan masyarakat yang merasa diwakili oleh suaranya.
Fenomena Ferry Irwandi menggambarkan bagaimana media sosial melahirkan figur-figur baru yang mampu memengaruhi opini publik. Ia hadir bukan hanya sebagai pengkritik, tetapi juga sebagai penggerak wacana, yang menghadirkan perspektif berbeda terhadap isu-isu penting di Indonesia.
Perjalanan Ferry Irwandi menunjukkan bahwa keberanian untuk bersuara, meskipun berisiko menimbulkan kontroversi, tetap memiliki tempat tersendiri di tengah masyarakat yang haus akan representasi dalam ruang demokrasi digital. (A46)