Jakarta, Sinata.id — Musisi Erdian Aji Prihartanto atau yang akrab disapa Anji kembali mengkritik mekanisme pengelolaan royalti musik di Indonesia. Ia menilai sistem yang berjalan saat ini belum mampu memberikan keadilan bagi para pencipta lagu. Melalui unggahan di akun Instagram pribadinya, Anji menyoroti metode perhitungan royalti yang diterapkan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
Menurutnya, LMK selama ini menentukan besaran royalti berdasarkan jumlah kursi, luas ruangan, atau kapasitas tempat usaha, bukan dari seberapa sering sebuah lagu diputar.
“LMK membuat aturan membayar royalti dengan perhitungan jumlah ruangan, per kursi, dan semacamnya. Bukan berdasarkan penggunaan lagu. Jadi bagaimana membaginya kepada pencipta lagu? Apakah LMK tahu lagu apa saja yang diputar?” tulis Anji, dikutip Jumat, 8 Agustus 2025.
Anji juga mempertanyakan keadilan bagi pemilik lagu yang karyanya tidak digunakan sama sekali di sebuah lokasi usaha. Ia memberi contoh, di beberapa tempat seperti rumah sakit, spa, atau salon, yang memutar suara burung atau suara latar, belum jelas kepada siapa royalti itu dialirkan.
“Apakah akan adil sesuai penggunaannya? Kalau suara burung atau ambience, royaltinya dibayarkan ke siapa?” imbuhnya.
Lebih lanjut, pelantun lagu Dia itu menegaskan bahwa semakin luas isu ini dibicarakan, publik akan semakin mengetahui pihak mana yang menjadi akar persoalan dalam tata kelola industri musik Tanah Air.
“Semakin besar isu ini, akan jelas apa atau siapa biang masalahnya,” tegas Anji.
Pernyataan Anji muncul di tengah memanasnya polemik pembayaran royalti lagu di ruang-ruang usaha, seperti kafe, restoran, hotel, pusat perbelanjaan, hingga kedai kopi.
Persoalan ini sejatinya bukan hal baru. Sebelumnya, perdebatan seputar royalti juga terjadi pada lingkup performing rights, yakni hak cipta atas penggunaan karya musik di ruang publik seperti konser, festival, atau acara hiburan lainnya.
Situasi kembali mencuat setelah aparat menetapkan seorang perwakilan manajemen gerai Mie Gacoan di Bali sebagai tersangka pelanggaran hak cipta.
Pada 24 Juni 2025, Polda Bali resmi menetapkan IAS, Direktur PT Mitra Bali Sukses, sebagai tersangka karena diduga memutar lagu berlisensi tanpa izin untuk kepentingan komersial.
IAS disangkakan melanggar Pasal terkait hak cipta, dengan tuduhan sengaja dan tanpa hak menyediakan fonogram, baik melalui kabel maupun tanpa kabel, yang dapat diakses publik untuk kepentingan usaha.
Kasus ini memicu kekhawatiran di kalangan pelaku bisnis, yang khawatir dapat menghadapi tuntutan serupa.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta serta Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021, pengelolaan royalti dilakukan oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) bersama LMK sektoral seperti Wahana Musik Indonesia (WAMI), Karya Cipta Indonesia (KCI), dan Royalti Anugerah Indonesia (RAI).
Besaran royalti ditentukan oleh jenis usaha dan kapasitas tempat. Untuk restoran dan kafe, tarif umumnya mencapai Rp60.000 per kursi per tahun. Sementara itu, untuk usaha besar atau waralaba ternama, tarif dapat mencapai Rp120.000 per kursi per tahun.
Namun, implementasi aturan ini dinilai tidak sederhana. Banyak pelaku usaha mengaku belum pernah mendapat sosialisasi yang memadai, bingung mengenai mekanisme pembayaran, serta tidak mengetahui secara pasti lagu-lagu yang wajib membayar royalti.
Keraguan juga muncul terkait penggunaan musik dari platform digital seperti YouTube atau Spotify, apakah termasuk dalam kategori yang dikenakan royalti.
Polemik ini diperkirakan masih akan bergulir, mengingat belum adanya kesepahaman menyeluruh antara pelaku usaha, pencipta lagu, dan lembaga pengelola royalti terkait mekanisme yang dianggap adil dan transparan. (*)