Sinata.id – Gelombang protes warganet atas bisingnya sirene “tot tot wuk wuk” akhirnya membuat pihak berwenang angkat bicara. Kepala Korps Lalu Lintas Polri Irjen Agus Suryonugroho mengumumkan pembekuan sementara penggunaan sirene dan strobo bagi kendaraan pengawal non-prioritas. Keputusan ini lahir setelah keluhan masyarakat viral di media sosial.
Agus menegaskan, pengawalan untuk kendaraan pejabat tertentu tetap berjalan, tetapi tanpa memaksa pengguna jalan lain dengan suara sirene yang memekakkan telinga.
“Pengawalan tetap bisa dilakukan, tetapi sirene dan strobo hanya dipakai bila sangat mendesak. Kalau tidak prioritas, jangan dibunyikan,” ujarnya, dikutip Senin (22/9/2025).
Ia juga mengingatkan bahwa sirene hanya diperuntukkan untuk situasi tertentu, bukan simbol kekuasaan yang dipamerkan di jalan raya.
Evaluasi menyeluruh pun sedang dilakukan.
“Kami berterima kasih atas kepedulian publik. Semua masukan akan kami tindak lanjuti. Untuk sementara, mari jaga ketertiban lalu lintas bersama,” tambahnya.
TNI Turut Benahi Internal
Tak hanya Polri, TNI melalui Danpuspom Mayjen Yusri Nuryanto juga mengakui bahwa strobo dan sirene kadang menimbulkan keresahan.
Dalam apel gelar pasukan di Monas, Yusri menyatakan pihaknya sudah memerintahkan setiap Danpuspom angkatan untuk menertibkan prajurit.
“Kadang-kadang suara itu memancing emosi pengguna jalan lain. Kita akan menertibkan,” katanya.
Yusri bahkan menyebut Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto sendiri tidak menggunakan strobo dan sirene saat bertugas, sebagai contoh nyata bahwa aturan berlaku untuk semua.
Ia juga menegaskan aturan Undang-Undang Lalu Lintas Nomor 22 Tahun 2009, yakni strobo dan sirene hanya sah untuk ambulans, pemadam kebakaran, mobil jenazah, serta kendaraan pengawal resmi.
Ledakan Tagar #StopTotTotWukWuk di Media Sosial
Aksi “Stop Tot Tot Wuk Wuk” kini jadi trending.
Poster digital, meme, dan stiker sindiran tersebar luas.
Salah satunya bertuliskan, “Pajak kami ada di kendaraanmu. Stop berisik di jalan Tot Tot Wuk Wuk!”
Fenomena ini menunjukkan ketegangan publik terhadap penyalahgunaan aksesori prioritas.
Bagi banyak pengendara, suara sirene tanpa alasan darurat bukan hanya bising, tetapi juga simbol arogansi di jalan.
Tekanan warganet inilah yang memaksa aparat untuk merespons lebih serius.
Kritik publik kali ini bukan sekadar komplain biasa, tapi juga seruan agar ruang publik, terutama jalan raya, menjadi lebih tertib dan manusiawi.
Gerakan sosial media “Stop Tot Tot Wuk Wuk” memperlihatkan bahwa kekuatan suara warga, ketika bersatu, dapat memaksa perubahan kebijakan. (A46)