Jakarta, Sinata.id – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar pemeriksaan formil terhadap pengujian Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Proses yudisial ini memunculkan perbedaan pandangan antara organisasi wartawan, dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menilai pasal tersebut masih relevan, sementara pemohon mengkritiknya sebagai pasal multitafsir.
Ketua Umum PWI, Akhmad Munir, dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (22/10/2025), menegaskan bahwa PWI mendukung keberadaan pasal tersebut. Menurutnya, norma dalam pasal itu merupakan pijakan utama untuk menjaga kemerdekaan pers.
“Kami berharap Mahkamah Konstitusi memberikan tafsir konstitusional yang memperkuat norma ini tanpa mengubah makna yang telah berlaku selama lebih dari dua dekade,” ujarnya.
Meski mendukung, PWI justru meminta MK untuk mempertegas tafsir hukum dari pasal tersebut. Tujuannya agar perlindungan hukum bagi wartawan di lapangan menjadi semakin kuat dan efektif.
Munir menilai persoalan utamanya bukan terletak pada substansi pasal, melainkan pada lemahnya koordinasi dan pelaksanaannya di lapangan.
Ia mengungkapkan, banyak wartawan masih kerap mengalami kriminalisasi dan kekerasan saat menjalankan tugas jurnalistik. Oleh karena itu, ia menekankan bahwa perlindungan bagi wartawan harus komprehensif, mencakup aspek fisik, digital, dan psikologis, di samping perlindungan hukum.
“Perlindungan hukum bukan berarti kekebalan hukum, melainkan jaminan agar wartawan tidak dipidana karena karya jurnalistik yang sah,” tegas Munir.
Di sisi lain, uji materiil ini diajukan oleh Ikatan Wartawan Hukum Indonesia (Iwakum) yang berpendapat bahwa Pasal 8 UU Pers menimbulkan penafsiran ganda dan berpotensi menciptakan ketidakpastian hukum.
PWI berharap hasil uji materi ini pada akhirnya dapat memperkuat posisi pers nasional sebagai pilar demokrasi dan memastikan wartawan dapat bekerja secara aman, bebas, dan bertanggung jawab. (A58)