Samosir, Sinata.id – Di tengah keheningan pagi yang biasanya menyambut nelayan dengan harapan danau yang tenang, hari itu Danau Toba justru menyuguhkan pemandangan yang memilukan. Ratusan, bahkan ribuan ikan, tampak mengambang tak bernyawa di permukaan air yang keruh. Aroma amis menusuk. Air mata tumpah. Dan dunia maya pun ikut bergetar.
Sebuah video berdurasi 26 detik menyebar bak api di musim kemarau. Di dalamnya, seorang pria bersuara lirih tapi penuh guncangan emosional berkata, “Aduh Danau Toba, ikannya naik semua ke atas… Kenapa la seperti ini, ada apa denganmu di bawah sana?” Demikian narasi yang terdengar seperti jeritan batin itu segera menyulut simpati, dikutip Sinata.id pada Rabu, 30 Juli 2025, dari video yang beredar.
Seketika, lini masa media sosial dibanjiri spekulasi. “Pencemaran!” kata sebagian. “Limbah industri!” tuduh yang lain. Namun, ketika mata tertuju pada air danau yang tampak kehijauan dan keruh, semua orang tahu: ini bukan hanya tentang ikan mati. Ini tentang sesuatu yang jauh lebih dalam, dan mungkin jauh lebih menakutkan.
Abner Tarigan, Kepala UPTD Kualitas Air Danau Toba dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sumut, mencoba meredam kegelisahan. Menurutnya, ombak besar telah mengangkat lumpur dari dasar danau, membuat air menjadi keruh. Namun pengakuannya juga mencerminkan ketidakpastian. “Video itu saya juga lihat dari Facebook, tapi saya tidak bisa memastikan kebenarannya,” ucapnya, seperti dikutip Sinata.id via Detikcom.
Lalu muncullah suara dari kalangan ilmiah. Dr. Ir. Lukman, M.Si., peneliti dari BRIN, membawa angin baru—angin yang tak kalah menyeramkan. Ia menyebut fenomena ini sebagai “pembalikan massa air” atau turnover—sebuah kejadian alamiah yang nyaris tak kasatmata tapi mematikan.
Di wilayah Pangururan yang tertutup dan dalam, air dari dasar danau yang mengandung gas-gas beracun seperti hidrogen sulfida, metana, dan karbon dioksida terdorong ke permukaan akibat perubahan suhu atau tekanan. Gas-gas itu, dalam senyapnya, membunuh kehidupan di dalam air. “Kalau kadar oksigen sudah nol, ikan akan mati lemas. Mereka tidak punya tempat berpindah, apalagi di area karamba,” jelas Lukman, dilansir GoRiau.
Penjelasan itu bukan sekadar ilmiah. Ia membawa realitas yang lebih kelam: Danau Toba, yang selama ini dianggap sebagai simbol keindahan dan ketenangan, sedang berteriak dari dalam. Turnover bukan sekadar fenomena alam—ia adalah refleksi dari beban berat yang selama ini ditanggung danau: karamba-karamba yang terus bertambah, limbah-limbah organik, dan kebijakan yang lemah.
Fenomena ini pun memicu pertumbuhan fitoplankton secara besar-besaran—membuat air danau semakin hijau, semakin keruh, semakin mati.
Warga setempat kini menuntut kejelasan. Beberapa menyalahkan pemerintah daerah yang dianggap terlalu longgar terhadap aktivitas budidaya ikan. Yang lain menyindir para pemilik usaha besar yang meraup untung dari danau tapi abai terhadap keseimbangan ekologisnya.
“Danau ini bukan kolam pribadi siapa pun. Kalau dibiarkan seperti ini terus, anak cucu kita cuma bisa melihat Danau Toba di buku sejarah,” ucap seorang netizen.
Suasana pun berubah menjadi tegang. Di satu sisi, nelayan lokal menangis karena kehilangan penghasilan akibat matinya ikan. Di sisi lain, pemerintah berpacu dengan waktu mencari solusi yang tak sekadar tambal sulam. Semua sepakat: ini adalah alarm keras.
Lukman menegaskan perlunya kebijakan berbasis ekologi dan keberlanjutan. Tapi suara-suara itu harus bersaing dengan kepentingan ekonomi dan tekanan politik. “Ini bukan cuma soal ikan. Ini soal daya tahan ekosistem. Ini soal masa depan,” katanya dengan nada tegas.
Danau Toba—yang selama ini menjadi kebanggaan nasional, daya tarik wisata, dan tempat bertemunya budaya serta sejarah—kini berubah menjadi simbol peringatan. Tentang apa yang terjadi ketika manusia terlalu rakus dan lupa mendengar suara alam.
Sementara itu, bangkai-bangkai ikan masih mengambang, menjadi saksi bisu dari krisis yang lebih dalam dari sekadar air keruh.
Dan suara lirih itu, yang terekam dalam video viral, terus terngiang di benak semua orang:
“Oh Danau Toba Nauli… kenapa la seperti ini?” (*)