Pematangsiantar, Sinata.id – Wali Kota Pematangsiantar Wesly Silalahi kini berada di bawah tekanan publik, lantaran bersikap pasif terhadap dua pejabat Dinas Perhubungan yang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Langkah diam Wali Kota ini dinilai mencederai semangat reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi.
Wali Kota Pematangsiantar Wesly Silalahi
Kedua pejabat yang terseret kasus adalah Kadishub Julham Situmorang dan Tohom Lumban Gaol. Polres Pematangsiantar telah menetapkan mereka sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerasan terhadap Rumah Sakit Vita Insani (RSVI).
Ironisnya, meski status hukum mereka telah naik ke tingkat tersangka, keduanya masih bebas menjalankan tugas di instansi pemerintah, seolah tak terjadi apa-apa. Kondisi ini memicu kemarahan publik dan kritik tajam dari berbagai pihak.
“Begitu ada penetapan tersangka dalam kasus pidana yang berkaitan dengan jabatan, seharusnya pejabat itu langsung dinonaktifkan,” kata Orlando Marpaung kepada Sinata.id, Kamis (8/4/2025).
Orlando, Ketua Forum Masyarakat Anti Korupsi, mengecam keras sikap Wali Kota yang terkesan membiarkan persoalan ini berlarut-larut. Ia menilai, pembiaran semacam ini justru memperlihatkan lemahnya komitmen Wesly dalam menegakkan nilai-nilai antikorupsi yang menjadi bagian dari AstaCita Presiden Prabowo.
“Publik sekarang melihat ini sebagai bentuk pembiaran yang disengaja. Jika ada pejabat yang sudah jadi tersangka saja dibiarkan tetap menjabat, di mana komitmen Walikota terhadap pemberantasan korupsi?” terangnya.
Ia mendesak Walikota agar segera mengambil langkah tegas dengan menonaktifkan kedua pejabat tersebut. Menurutnya, ini bukan sekadar urusan hukum, tetapi juga soal moralitas dan keteladanan dalam kepemimpinan. Pembiaran hanya akan memperkuat kesan bahwa pemerintah kota cenderung melindungi pelaku pelanggaran hukum.
“Dan, lagian perkara ini bukan soal praduga tak bersalah, tapi langkah administratif untuk menjaga integritas pemerintahan dan proses hukum yang bersih,” ujarnya.
Untuk diketahui, kasus dugaan pemerasan ini bermula dari kompensasi lahan parkir yang terdampak pembangunan fasilitas di RSVI pada 2024 lalu. Kedua pejabat diduga meminta uang ganti rugi sebesar Rp48 juta, yang kemudian dikembalikan setelah kasus ini terungkap.
Namun meski status tersangka telah disandang, polisi tak menahan keduanya dengan alasan pengembalian uang, sikap kooperatif, dan status mereka sebagai kepala keluarga. Keputusan ini pun kian mempertebal kecurigaan publik terhadap adanya kompromi dalam penegakan hukum. (*)