Oleh: St Ferry SP Sinamo, SH, MH, CPM, CPArb
Larangan untuk mengonsumsi darah telah dikenal sejak ribuan tahun lalu melalui hukum Taurat yang tercatat dalam Alkitab.
Dalam Imamat 17:11 tertulis:
“Karena nyawa makhluk ada di dalam darahnya dan Aku telah memberikan darah itu kepadamu di atas mezbah untuk mengadakan pendamaian bagi nyawamu, karena darah mengadakan pendamaian dengan perantaraan nyawa.”
Ayat ini bukan sekadar peraturan adat atau pantangan budaya, melainkan mengandung dua dimensi penting: dimensi teologis (hubungan manusia dengan Allah) dan dimensi medis-kesehatan (perlindungan manusia dari penyakit).
I.Perspektif Teologis:
Darah adalah Kehidupan Dalam Alkitab, darah memiliki makna yang sangat penting.
1. Darah melambangkan nyawa. Kehidupan makhluk hidup berada dalam darah. Kehilangan darah berarti kehilangan hidup.
2. Darah dipakai untuk pendamaian dosa. Dalam Perjanjian Lama, darah binatang dipersembahkan di mezbah sebagai korban penghapus dosa.
3. Penggenapan di dalam Kristus. Dalam Perjanjian Baru, Yesus Kristus menjadi korban yang sempurna. Darah-Nya tercurah di kayu salib sebagai tanda kasih Allah yang menyelamatkan manusia dari dosa (Matius 26:28).
Dengan demikian, darah bukan untuk dimakan, melainkan untuk mengingatkan umat manusia akan karya pendamaian Allah.
II. Perspektif Kesehatan:
Darah sebagai Media Penyakit.
Selain alasan teologis, larangan ini terbukti memiliki landasan kesehatan yang kuat. Ilmu kedokteran modern membuktikan bahwa darah adalah salah satu komponen tubuh yang paling rentan membawa penyakit.
1. Darah sebagai tempat kuman dan virus.
Banyak penyakit menular hidup dan berkembang di dalam darah, seperti antraks, malaria, HIV/AIDS, hepatitis, leptospirosis, dan infeksi bakteri lainnya. Jika darah dikonsumsi, risiko penularan penyakit sangat besar.
2. Darah mengandung zat sisa metabolisme.
Selain membawa oksigen dan nutrisi, darah juga mengangkut racun serta limbah tubuh. Hal ini membuat darah bukanlah bahan makanan yang layak konsumsi.
3. Kesehatan ternak tidak bisa dipastikan.
Seekor ternak yang tampak sehat dari luar belum tentu benar-benar bebas penyakit. Banyak penyakit justru pertama kali terdeteksi melalui darah. Karena itu, mengonsumsi darah hewan sangat berisiko bagi manusia.
Dengan kata lain, larangan Allah terbukti merupakan bentuk perlindungan kesehatan masyarakat jauh sebelum pengetahuan medis modern berkembang.
II. Integrasi Teologi dan Medis
Larangan mengonsumsi darah mengandung makna ganda:
• Secara teologis, darah adalah simbol kehidupan dan sarana pendamaian dosa.
• Secara medis, darah adalah media berbahaya yang dapat membawa penyakit.
Kedua alasan ini menunjukkan bahwa firman Tuhan tidak hanya melindungi aspek rohani manusia, tetapi juga menjaga kesehatan jasmani umat-Nya.
Larangan makan darah bukan sekadar aturan kuno yang tidak relevan. Justru sebaliknya, larangan ini membuktikan bahwa firman Tuhan berlaku kekal dan bermanfaat bagi manusia sepanjang masa.
• Dari segi iman, darah adalah lambang nyawa dan pengingat akan darah Kristus yang menyelamatkan.
• Dari segi ilmu pengetahuan, darah adalah media penyakit sehingga tidak layak dikonsumsi.
Dengan demikian, larangan makan darah adalah bentuk kasih Allah: kasih yang menyelamatkan jiwa sekaligus menjaga tubuh.
Firman Tuhan berkata:
“Kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia, bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus, yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat.” (1 Petrus 1:18-19)
Karena itu, marilah kita menghargai kehidupan, menjaga kesehatan, dan menghormati darah Kristus yang telah menebus kita. (A27)