Sinata.id – Satu per satu mata uang Asia tumbang, dan rupiah tak mampu melawan kerasnya badai. Ketegangan Amerika Serikat dengan China kembali membara setelah ancaman tarif baru diluncurkan. Pasar pun panik, dolar AS menguat, sementara Asia tertekan habis-habisan.
Ketegangan geopolitik kembali mengguncang pasar keuangan global. Akibat memanasnya konflik dagang antara Amerika Serikat dan China, pasar Asia hari ini bak diterjang badai, nilai tukar mata uang regional melemah berjamaah, termasuk rupiah yang kembali terperosok.
Pada perdagangan Selasa (14/10/2025), nilai tukar rupiah ditutup melemah tipis 0,09% di level Rp16.575 per dolar AS di pasar spot. Sentimen pelarian modal ke aset aman (risk-off) membuat dolar AS terus menguat dan menekan mata uang Asia secara luas.
Yang terpukul paling keras adalah won Korea Selatan yang anjlok 0,55%. Disusul dolar Taiwan jatuh 0,22%, dolar Singapura turun 0,16%, dan yuan China ikut melemah 0,15%.
Baca Juga: Aturan DHE Akan Dirombak, Purbaya: Dampaknya ke Cadangan Devisa Belum Terasa
Daftar korban pelemahan terus berlanjut. Rupee India terdepresiasi 0,14%, yuan offshore tergelincir 0,11%, lalu diikuti rupiah dengan 0,09%, dan ringgit Malaysia yang melemah 0,08%.
Di tengah tekanan ini, hanya empat mata uang di kawasan yang berhasil bertahan, meski secara keseluruhan, dominasi dolar AS masih terasa kuat setelah melonjak 0,11% ke level 99,381.
Sinyal Bahaya dari Pasar NDF
Tekanan terhadap rupiah tampak lebih terasa di pasar non-deliverable forward (NDF). Kontrak rupiah di pasar tersebut melemah 0,18% ke Rp16.605 per dolar AS, menjadi sinyal bahwa koreksi lanjutan masih mengintai.
Penyebab utama gejolak ini kembali bermuara pada konflik dagang dua raksasa ekonomi dunia. Presiden AS Donald Trump mengumumkan rencana tarif tambahan hingga 100% untuk produk impor asal China mulai 1 November 2025. Tak hanya itu, Washington juga berencana membatasi ekspor perangkat lunak strategis ke Negeri Tirai Bambu.
China tak tinggal diam. Pemerintahan Xi Jinping langsung membalas dengan tindakan tegas, Beijing menjatuhkan sanksi terhadap lima anak perusahaan Hanwha Ocean yang berafiliasi dengan AS. Keputusan itu terkait penyelidikan Washington terhadap industri maritim dan logistik China.
“Ketegangan yang terus berulang akibat tarif impor semakin menambah kecemasan pasar. Kondisi ini menggambarkan betapa rapuhnya stabilitas ekonomi global saat ini,” ujar Guillermo Hernandez Sampere, Kepala Perdagangan di MPPM Asset Management.
Ia menyebut kesepakatan cepat perlu dicapai agar pasar terhindar dari aksi jual besar-besaran.
Berita Lain: Muhammad Fadli, Lurah Perintis Didorong ke Parit Saat Bongkar Polisi Tidur Ilegal
Bursa Asia Kompak Merah
Gejolak di pasar keuangan tak hanya menekan mata uang. Bursa saham Asia ikut berdarah-darah siang ini.
-
Nikkei 225 dan TOPIX di Jepang longsor lebih dari 2%.
-
KOSPI dan Kosdaq di Korea Selatan melemah 1%.
-
Bursa saham China dan Hong Kong ikut berguguran – semua indeks utama ditutup merah.
-
Di Indonesia, IHSG ikut terpeleset, mengikuti aliran modal keluar dari aset berisiko.
Pasar Semakin Cemas
Seperti dilaporkan Bloomberg News, langkah balasan terbaru China membuat pasar kembali gelisah karena mengindikasikan tensi perdagangan belum akan mereda dalam waktu dekat.
“Ini bukan sekadar perang tarif. Ini adalah eskalasi persaingan rantai pasok strategis antara dua kekuatan ekonomi dunia,” tegas Hebe Chen, analis pasar di Vantage Markets Melbourne.
“Konflik ini kini merembet ke sektor industri berat dan maritim, bukan hanya semikonduktor. Tanda-tandanya jelas – tidak akan ada gencatan senjata dalam waktu dekat,” tambahnya. [zainal/a46]