Humbahas, Sinata.id- Petani di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, tepatnya yang bertani di kawasan lumbung pangan atau food estate, harus menerima fakta belum adanya ekosistem pertanian yang bisa menguntungkan. Hal ini berkaitan dengan serapan harga hasil panen yang masih jauh dari harapan.
Hal itu dialami oleh Sinaga, petani yang mengikuti program food estate di Humbang Hasundutan (Humbahas) sejak dimulainya proyek ketahanan pangan itu pada lima tahun lalu. Ia menggambarkan bertani di kawasan tersebut malah merugi alias ‘besar pasak daripada tiang’.
Ia mencontohkan harga dari hasil panen yang masih jauh dari harapan dan malah membuat operasional pertaniannya merugi. Sinaga mengatakan komoditas ubi jepang yang pada masa tanam ada pada kisaran harga Rp 12.000 per kilogram namun pada saat panen jadi terjun bebas menjadi sekitar Rp 4.000-Rp 6.000 per kilogram. Kenyataan ini yang sering dihadapi para petani di kawasan food estate Humbang Hasundutan.
Di sana juga ditemukan hal serupa saat terjun ke lokasi food estate di Desa Ria Ria, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara pada September 2025. Memang masih banyak lahan tidur di kawasan tersebut. Namun tetap ada petani yang melakukan aktivitas pertanian kendati dalam periode tanam dan panen belum tentu untung secara ekonomi.
Seperti kelompok tani yang beranggotakan Sinaga dan Siregar. Mereka mengembangkan berbagai komoditas seperti cabai, kol, ubi, bawang bahkan juga menanam kopi. Namun, keluhan yang muncul senada, yaitu belum ada ekosistem pertanian di hilir yang bisa menyerap hasil panen dengan harga tinggi atau setidaknya sesuai.
“Saat ini kurang sesuai (harga hasil panen). Ini terkait pemasaran barang. Harga yang dibeli penampung masih rendah. Jauh dari harapan petani,” ujar Sinaga.
Hal itu ia jelaskan lagi dengan ketidaksesuaian pengeluaran atau biaya operasional dengan pendapatan setelah panen. Fenomena ini juga diperparah dengan tidak adanya program dari pemerintah daerah setempat yang menyediakan ruang atau ekosistem pertanian yang berpihak pada petani. Misalnya, pemerintah sebagai regulator bisa menetapkan harga acuan penjualan hasil panen atau menyediakan ekosistem jual-beli yang sesuai.
Padahal, menurut Sinaga, kegiatan pertanian memerlukan modal yang tidak sedikit. “Bertani di sini, modal menjadi persoalan utama. Karena di sini kebutuhan modal cukup tinggi. Maka dari pada itu, kami berharap harga barang panen bisa dihargai atau ditampung secara sesuai,” tutur Sinaga.
Ia menyatakan perlu ada ekosistem atau mekanisme yang jelas pada bagian penyaluran atau distribusi komoditas hasil panen. Sehingga barang panen bisa dihargai sesuai pasaran atau paling tidak bisa menutupi biaya operasional pertanian dari masa tanam hingga panen. Namun, kondisi yang diinginkan ini belum tersedia bagi petani di food estate. Padahal, untuk mobilitas dan transportasi di sana tidak terlalu buruk.
Di sisi lain, penampung atau tengkulak hasil panen mau tidak mau juga ikut bermain dalam menentukan harga. Jika hasil panen tidak terserap pasar, tak sedikit pula dibuang atau diberikan kepada masyarakat untuk kepentingan lainnya.
Dari pengalaman lima tahun di lahan yang direncanakan menjadi lumbung pangan ini, lanjut Sinaga, petani belum bisa bicara soal keuntungan karena masih banyak tantangan yang dihadapi. Padahal jika ditanya, keinginan mereka cukup sederhana, yakni agar harga komoditas hasil panen bisa untung dalam satu periode masa tanam hingga panen agar tidak lagi besar pasak daripada tiang.
Ketika membahas soal peningkatkan kompetensi pertanian, para petani mengaku belum mendapat pendampingan dari penyuluh pertanian atau ahli yang diturunkan pemerintah. Segala keterampilan dan kompetensi pertanian mereka dapatkan dari pengalaman dan informasi dari kelompok tani lainnya.
Ke depan, mereka berharap persoalan penentuan harga jual hasil panen bisa mendapatkan solusi. Berikutnya, para petani ingin ada pendampingan dari lembaga yang bisa mendukung meningkatkan produktivitas pertanian serta kapasitas petani di kawasan food estate Humbang Hasundutan. (A1)