Oleh: Pastor Dion Panomban
Saat teduh Abba Home Family pada Minggu tanggal 10 Agustus 2025, Ada luka yang tak terlihat, tapi mengendap dalam hati. Ada beban yang tak terdengar, tapi membebani langkah hidup kita.
Luka-luka itu sering kita bawa masuk ke dalam rumah tangga, dan tanpa disadari, memengaruhi cara kita mengasihi, berbicara, bahkan mengambil keputusan.
Di sinilah pentingnya kita membiarkan Tuhan memulihkan jiwa, agar keluarga kita berdiri di atas dasar yang sehat dan kokoh.
Betapa penting dan seriusnya kita memahami bahwa keluarga dan pribadi kita perlu dipulihkan secara jiwa.
Manusia diciptakan Tuhan sebagai satu kesatuan yang utuh: roh, jiwa, dan tubuh. Ketiganya saling memengaruhi, dan ketika salah satu bagian terluka, seluruh kehidupan kita ikut terpengaruh.
Roh adalah pusat persekutuan kita dengan Tuhan, tempat hati nurani berbicara dan relasi kita dengan-Nya dibangun. Jiwa adalah pikiran, perasaan, dan kehendak—bagian yang menentukan cara kita berpikir, merasakan, dan mengambil keputusan. Sedangkan tubuh adalah wadah fisik yang terdiri dari daging, tulang, dan darah.
Ketika seseorang menikah, ia tidak hanya menyatukan tubuhnya dengan pasangannya, tetapi juga jiwanya. Jiwa terbentuk dari pola asuh, ajaran, dan pengalaman yang kita alami sejak kecil. Hal-hal ini—baik yang indah maupun yang menyakitkan—membentuk kepribadian, cara pandang, dan cara kita merespons kehidupan.
Banyak kerusakan di gereja dan keluarga berawal dari pribadi-pribadi yang belum mengalami kesembuhan jiwa. Luka masa lalu, pengalaman pahit, atau pola didikan yang keliru dapat meninggalkan jejak mendalam yang memengaruhi sikap, perkataan, dan tindakan kita di masa kini. Jika tidak diubati, hal ini dapat merusak hubungan, bahkan meruntuhkan pernikahan.
Kita menjadi seperti sekarang bukan tanpa sebab. Cara kita diajar di rumah, bagaimana kita diperlakukan, pengalaman pahit atau manis, semuanya membentuk siapa kita hari ini. Karena itu, kita perlu rindu mengalami Tuhan dalam kasih, kebenaran, dan kuasa-Nya. Hanya Dia yang sanggup memulihkan luka, mengubah cara pandang, mematikan daging, dan menegakkan dasar yang benar bagi pribadi, keluarga, dan gereja.
Firman Tuhan dalam Maleakhi 2:15-16 menegaskan bahwa Allah membenci perceraian. Ia menghendaki kesatuan yang melahirkan keturunan ilahi—generasi yang takut akan Tuhan. Kesetiaan dalam pernikahan adalah bagian dari kesembuhan jiwa, karena hanya hati yang pulih yang mampu bertahan dalam komitmen dan kasih sejati.
Kiranya kita semua membuka hati untuk dipulihkan oleh Tuhan. Biarlah keluarga kita menjadi tempat di mana roh, jiwa, dan tubuh selaras di bawah pimpinan-Nya. Dari keluarga yang pulih, lahirlah gereja yang kuat, dan dari gereja yang kuat, lahirlah masyarakat yang diberkati. (A27)