Sinata.id – Seorang pasien berusia 77 tahun, Jean Dye, meninggal dunia setelah menjalani operasi jantung di Rumah Sakit Umum Scunthorpe, Inggris.
Insiden tragis yang terjadi pada September 2020 itu baru terungkap ke publik melalui laporan resmi Prevention of Future Deaths setelah penyelidikan mendalam selama lima tahun.
Jean Dye saat itu menjalani prosedur intervensi koroner perkutan atau angioplasti dengan pemasangan stent untuk membuka arteri jantung yang tersumbat.
Operasi tersebut pada dasarnya merupakan tindakan invasif minimal menggunakan tabung kecil permanen yang dipasang pada pembuluh darah pasien.
Namun, proses medis yang krusial itu mendadak terhenti setelah ruang operasi mengalami pemadaman listrik selama kurang lebih 10 menit.
Koroner senior, Paul Smith, dalam laporannya menjelaskan bahwa padamnya daya listrik membuat dokter kehilangan kemampuan menggunakan citra sinar-X, sehingga pemasangan stent tidak dapat dilanjutkan hingga aliran listrik kembali normal.
“Tidak ada indikasi penyebab pasti gangguan listrik, dan sirkuit cadangan tidak diaktifkan secara manual. Staf rumah sakit, yang belum pernah menghadapi situasi serupa, hanya bisa menunggu teknisi datang untuk memulihkan daya,” ungkap Smith, dikutip dari People, Minggu (17/8/2025).
Setelah listrik kembali, dokter berhasil melanjutkan pemasangan stent. Namun, kondisi Jean Dye memburuk hingga akhirnya dinyatakan meninggal.
Hasil penyelidikan memastikan penyebab kematian adalah diseksi arteri iatrogenik yang terjadi selama prosedur.
Smith menegaskan, berdasarkan analisis, kemungkinan besar Dye bisa selamat apabila tidak terjadi pemadaman listrik.
Ia kemudian mengajukan rekomendasi kepada NHS Inggris serta Eksekutif Pelayanan Kesehatan agar segera mengambil langkah pencegahan sebelum batas waktu 28 Agustus 2025.
Dalam laporannya, Smith menyoroti kelemahan sistem di rumah sakit, termasuk posisi tombol reset listrik yang berada jauh dari ruang operasi dan tidak adanya indikator yang menandakan sirkuit aktif.
“Menurut saya, ada risiko kejadian serupa dapat terulang jika perbaikan tidak dilakukan. Seandainya staf memiliki akses untuk melakukan reset secara cepat tanpa harus menunggu teknisi, kemungkinan waktu henti bisa dipangkas signifikan,” jelasnya.
Ia menambahkan, meskipun tidak dapat dipastikan apakah keterlambatan tersebut secara langsung memengaruhi peluang hidup pasien, selisih waktu yang tipis dalam kondisi kritis dapat menentukan antara keselamatan dan kehilangan nyawa. (*)