Kelelahan Program Loyalitas Konvensional
Di atas kertas, sistem poin masih terlihat efektif.
Setiap transaksi dihargai, setiap pembelian tercatat.
Namun di balik angka-angka itu, loyalitas sering kali rapuh. Poin hanyalah saldo dalam sistem internal brand, tidak benar-benar terasa dimiliki oleh pengguna.
Ketika konsumen berhenti bertransaksi atau berpindah platform, nilai tersebut ikut menghilang.
Loyalitas pun mudah goyah, terutama ketika promo dari kompetitor terasa lebih menggiurkan. Bagi brand, kondisi ini menyulitkan.
Frekuensi transaksi menjadi satu-satunya tolok ukur, tanpa mampu membedakan antara pelanggan setia dan pemburu diskon sesaat.
Keterbatasan inilah yang mendorong brand besar mencari pendekatan baru: sistem yang bukan hanya memberi imbalan, tetapi juga menumbuhkan rasa memiliki.
Baca Juga: Harga Bitcoin Rontok dalam Hitungan Menit, Likuidasi Ratusan Juta Dolar Guncang Pasar Kripto Global
Starbucks: Loyalitas sebagai Kebiasaan yang Dikenali
Bagi Starbucks, loyalitas bukan semata soal membeli kopi.
Yang dijaga adalah kebiasaan, kedekatan, dan rasa familiar yang tumbuh dari interaksi berulang.
Ketika perusahaan ini mulai menyentuh token dan NFT, fokusnya bukan menciptakan produk baru, melainkan memperdalam relasi yang sudah ada.
Program loyalitas berbasis token mereka tidak mengubah pengalaman pelanggan secara drastis.
Konsumen tetap datang, memesan, dan menikmati layanan seperti biasa.
Namun kini, setiap interaksi meninggalkan jejak digital yang lebih bermakna.
Loyalitas tercatat bukan hanya sebagai poin, tetapi sebagai bagian dari identitas keanggotaan yang berkembang.

