Dolok Pardamean, Sinata.id — Masyarakat Dusun Siambaton, Desa Siambayon, Kecamatan Dolok Pardamean, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, tengah diliputi keresahan, seiring merebaknya isu begu ganjang—sebuah sosok gaib yang kerap dikaitkan dengan praktik ilmu hitam atau santet.
Merespons situasi tersebut, aparat keamanan dari unsur Bhabinkamtibmas Polsek Dolok Pardamean, Bripka B. Malau, bersama Babinsa dan Kepala Desa Siambayon, segera turun ke lapangan guna meredam kecemasan warga serta mencegah potensi konflik horizontal yang dapat timbul akibat penyebaran informasi yang belum terbukti kebenarannya.
Pertemuan dalam bentuk mediasi digelar di Balai Desa Siambayon pada Jumat, 23 Mei 2025. Dalam forum tersebut, masyarakat menyampaikan kekhawatiran mereka terkait kemungkinan maraknya praktik spiritual negatif di lingkungan mereka.
Menanggapi keluhan tersebut, para petugas mengedepankan pendekatan persuasif, memberikan penjelasan yang menenangkan, serta mengimbau warga untuk tetap tenang dan tidak terpengaruh oleh kabar yang tidak dapat diverifikasi secara faktual.
Sebagai langkah preventif, seluruh pihak yang hadir dalam mediasi sepakat untuk mengadakan kegiatan doa bersama dalam waktu dekat. Inisiatif ini diharapkan dapat menguatkan solidaritas sosial serta memulihkan rasa aman dalam kehidupan bermasyarakat.

Sementara itu, pihak kepolisian kembali mengingatkan agar masyarakat tetap bersikap kritis dalam menerima informasi serta memanfaatkan kanal aduan masyarakat seperti layanan darurat 110 untuk melaporkan hal-hal mencurigakan.
“Jika ada sesuatu yang mencurigakan atau meresahkan, masyarakat diimbau tidak ragu untuk menghubungi nomor 110,” ujar Kepala Seksi Humas Polres Simalungun, AKP Verry Purba.
Mitos Begu Ganjang: Seseram Apa Sosoknya?
Disadur Sinata dari Barak.id, fenomena begu ganjang merupakan bagian dari cerita rakyat yang telah lama hidup dalam budaya masyarakat Sumatera Utara. Istilah ini merujuk pada sosok makhluk gaib yang disebut-sebut memiliki bentuk tubuh tinggi menjulang, rambut panjang hitam, serta raut wajah yang menakutkan.
Nama “begu ganjang” sendiri secara harfiah berarti “hantu panjang” dalam bahasa Batak, dan kerap dikaitkan dengan kejadian-kejadian mistis atau musibah yang menimpa orang yang dicurigai berbuat jahat atau memiliki niat buruk terhadap orang lain.
Tak hanya menjadi bagian dari narasi mistik, sosok ini juga kerap diasosiasikan dengan praktik ilmu hitam seperti santet atau teluh. Konon, begu ganjang dapat “dipelihara” untuk mencelakai orang lain, sehingga keberadaannya menimbulkan kecemasan tersendiri di tengah masyarakat.
Asal-usul kepercayaan terhadap begu ganjang dipercaya bermula dari masa lampau, saat mahluk ini digunakan sebagai bentuk perlindungan terhadap ladang dan harta benda dari pencurian. Namun seiring berjalannya waktu, kepercayaan ini berubah arah menjadi alat balas dendam yang dilandasi oleh rasa iri dan kebencian.
Salah satu kisah kontemporer yang menyebar luas di media sosial menggambarkan bagaimana seorang remaja yang mencuri buah dari sebuah kebun, diduga menjadi korban begu ganjang. Meskipun berbagai upaya penyembuhan telah dilakukan, nyawa sang remaja tak dapat diselamatkan, memperkuat stigma akan keberadaan entitas ini sebagai pembawa malapetaka.
Meski tak pernah terverifikasi secara ilmiah, legenda begu ganjang tetap menjadi perbincangan hangat yang diwariskan lintas generasi. Cerita ini tidak hanya mengandung unsur horor, tetapi juga membawa pesan moral: pentingnya menjaga sikap dan tidak melanggar hak milik orang lain.
Hingga kini, eksistensi begu ganjang masih menjadi misteri yang belum terpecahkan. Apakah ia sekadar produk imajinasi budaya, atau benar-benar mahluk gaib yang belum mampu dijelaskan dengan logika modern? Pertanyaan itu terus hidup di benak masyarakat. (*)