Pematangsiantar, Sinata.id – Sekda Kota Pematangsiantar Junaedi Antonius Sitanggang malah bertanya balik saat dikonfirmasi tentang sikap Pemko terkait status tersangka Kepala Dinas Perhubungan atau Kadishub Julham Situmorang dalam kasus korupsi.
Julham Situmorang Kadishub Tersangka Korupsi
“Kau mau gimana?” ujarnya dari seberang telepon, Jumat 18 April 2025 kepada Sinata.id
Dengan jawaban terkesan nyeleneh seperti itu, Sinata menjelaskan tentang banyak pejabat publik dicopot atau dinonaktifkan dari jabatannya ketika berstatus tersangka kasus korupsi.
Lebih lanjut Sinata mempertanyakan hal atau pertimbangan yang membuat Pemko Pematangsiantar belum juga menonaktifkan Kadishub Julham Situmorang, meski berstatus tersangka korupsi.
Terhadap hal itu, Junaedi malah menyebut, tindakan menonaktifkan pejabat dari jabatan karena berstatus tersangka merupakan tindakan penghakiman. “Itu namanya udah justifikasi,” katanya.
Uniknya, Junaedi juga menyatakan, kalau Pemko Pematangsiantar belum mengetahui ada pejabat Dishub yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Dia beralasan, karena belum menerima pemberitahuan dari penyidik Polres Pematangsiantar.
“Kami belum tau kalau dia tersangka, belum ada pemberitahuan,” bebernya.
Sekadar informasi Kadishub Julham Situmorang dan stafnya, Tohom Lumban Gaol, ditetapkan sebagai tersangka “pemerasan” terhadap Rumah Sakit Vita Insani, senilai Rp 48 juta terkait ganti rugi penggunaan lahan parkir pada 2024.
Perkara itu ditangani Unit Tipikor Polres Pematangsiantar. Hanya saja, meski berstatus tersangka, baik Julham maupun Tohom tidak ditahan oleh penyidik.
Kasi Intel Kejari Pematangsiantar Hery Pardamean Situmorang dalam sebuah wawancara menjelaskan, Julham Situmorang dijerat Pasal 12 huruf e subsider Pasal 11 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU Pemberantasan Korupsi.
Pasal 12 huruf e berbunyi: Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
Pasal 11 berbunyi: Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50 jita dan paling banyak Rp 250 juta pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya. (*)