Oleh: Pastor Dion Panomban
Saat teduh Abba Home Family Kamia tanggal 14 Agustus 2025 – Keluarga bukan sekadar unit sosial yang terbentuk karena hubungan cinta antara pria dan wanita. Secara teologis, keluarga adalah institusi pertama yang dirancang langsung oleh Allah (Kejadian 2:18-24). Allah sendirilah yang menginisiasi, menetapkan, dan memberikan tujuan yang jelas bagi keberadaan keluarga: menjadi wadah pembentukan karakter, kasih, dan iman.
Signifikansi keluarga terlihat jelas ketika Yesus melakukan mujizat pertama-Nya di Kana (Yohanes 2:1-11). Alih-alih memulai pelayanan publik dengan penyembuhan atau pembangkitan orang mati, Yesus memilih memberkati sebuah perayaan pernikahan dengan mengubah air menjadi anggur. Secara simbolis, ini menegaskan bahwa keluarga adalah pusat perhatian Allah sejak awal pelayanan Yesus di bumi.
Keluarga sebagai Target Serangan Iblis
Pentingnya keluarga membuat iblis selalu berusaha merusaknya. Secara pastoral, ketika keluarga hancur, efeknya menjalar ke seluruh aspek kehidupan, termasuk pelayanan. Keluarga yang retak akan melahirkan generasi yang rentan, baik secara emosional maupun spiritual.
Paulus menyadari hal ini ketika menetapkan syarat-syarat pelayanan rohani dalam 1 Timotius 3:2-7. Seorang pemimpin jemaat harus:
- Setia kepada satu pasangan (monogami).
- Bijaksana, sopan, dan mampu mengendalikan diri.
- Ramah, pendamai, dan bukan pemarah.
- Tidak diperbudak oleh uang atau minuman keras.
- Memimpin keluarga dengan baik hingga dihormati anak-anaknya.
- Memiliki reputasi baik di dalam dan luar jemaat.
Standar ini ditekankan kembali di ayat 5:
“Jikalau seorang tidak tahu mengepalai keluarganya sendiri, bagaimanakah ia dapat mengurus Jemaat Allah?”
Analisis Teologis dan Praktis
Secara teologis, Alkitab memandang kepemimpinan keluarga sebagai batu ujian kepemimpinan rohani. Kepemimpinan yang gagal di rumah akan gagal pula di jemaat, karena esensinya sama: memelihara, mengajar, dan memimpin dengan kasih.
Secara praktis, gereja masa kini perlu mengevaluasi ulang standar ini. Banyak kasus menunjukkan bahwa kegagalan moral atau etika pemimpin jemaat sering berakar dari masalah internal keluarga yang diabaikan. Mengabaikan keluarga demi pelayanan bukanlah pengorbanan rohani, tetapi pelanggaran prinsip yang Alkitab tetapkan.
Implikasi untuk Pelayanan Masa Kini:
- Pemimpin gereja harus memprioritaskan pembinaan keluarga sebagai bagian dari proses pembentukan rohani.
- Gereja perlu menilai kelayakan pelayanan bukan hanya dari karisma dan kemampuan mengajar, tetapi dari integritas dan keharmonisan keluarga pemimpin.
- Keluarga jemaat juga perlu dikuatkan melalui program pembinaan rumah tangga, konseling pastoral, dan doa bersama.
Keluarga adalah ladang pelayanan pertama yang Tuhan percayakan. Pelayanan sejati dimulai dari rumah—dari meja makan tempat doa bersama, dari pelukan kasih ketika anggota keluarga terluka, dan dari teladan hidup yang mencerminkan kasih Kristus.
Menjaga keluarga bukan sekadar tugas pribadi, tetapi panggilan rohani. Jika keluarga kuat, gereja akan kuat. Jika keluarga rapuh, pelayanan pun akan rapuh. Mari kita kembali kepada standar pelayanan yang Alkitab tetapkan, demi gereja yang sehat dan generasi yang kokoh di dalam Kristus. (A27)