Jakarta, Sinata.id — Suasana politik nasional berubah cepat dan dramatis usai Presiden Prabowo Subianto resmi memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto, Sekjen PDI Perjuangan. Keputusan ini tidak hanya berdampak hukum, tetapi juga menjadi sinyal kuat rekonsiliasi politik tingkat tinggi antara pemerintahan dan partai berlambang banteng moncong putih itu.
Amnesti ini diumumkan bersamaan dengan pembebasan Thomas Lembong dari jeratan kasus impor gula. Dua peristiwa besar itu terjadi hanya selang beberapa hari dari pernyataan politik Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, dalam Bimbingan Teknis Fraksi PDIP di Denpasar.
Namun, langkah Megawati bukan isyarat tunduk. Ia menyampaikan dengan tegas: PDIP akan mendukung pemerintahan Prabowo, namun tetap bersikap kritis, independen, dan strategis. Pesan Megawati jelas: “Dukung, tapi jangan tunduk. Jaga pemerintahan, tapi jangan diam.”
PDIP Tak Masuk Kabinet, Tapi Ikut Menentukan Arah
Instruksi Megawati kepada seluruh kader partai bukan sekadar seruan. Itu strategi politik yang sedang digelar. PDIP tahu tantangan besar sedang menanti pemerintahan Prabowo, terutama dalam hal fiskal, utang luar negeri, serta tekanan geopolitik global.
Karena itu, alih-alih mengambil sikap oposisi penuh seperti di masa lalu, PDIP kini mengambil peran sebagai penjaga rel kekuasaan—ikut memastikan agar kebijakan negara tidak keluar jalur. Mereka mungkin tidak berada dalam kabinet, tetapi ingin berada di meja pengambil keputusan, bukan sekadar sebagai penonton dari luar pagar kekuasaan.
Megawati Menulis Naskah Baru
Apa yang dilakukan Megawati bukan langkah biasa. Di saat banyak pihak menunggu PDIP bersikap frontal, Megawati justru membuka jalan damai, dengan sikap hati-hati dan kalkulasi yang matang. Ia tidak mengirim kadernya ke garis depan pertarungan, tapi ke pos strategis dalam peta kekuasaan.
“PDIP tidak sekadar mendukung. Kami menjaga arah dan memastikan pemerintahan berjalan di jalur yang benar,” ujar Deddy Yevri Sitorus, politisi PDIP.
Namun dalam politik Indonesia, kata “benar” punya banyak tafsir. Karena itu, PDIP kini bergerak sebagai kompas, bukan sekadar sebagai peta. Mereka menandai jalur, mengingatkan bahaya, dan jika perlu, memberi arah baru.
Rekonsiliasi atau Strategi Jangka Panjang?
Amnesti terhadap Hasto dan sinyal dukungan Megawati tidak bisa dibaca terpisah. Ini adalah bagian dari orkestrasi kekuasaan, di mana PDIP tampil bukan sebagai aktor utama, melainkan sebagai konduktor bayangan. Mereka tidak muncul dalam sorotan lampu panggung, tapi menentukan irama politik dari balik layar.
Langkah ini membuka kemungkinan bahwa ke depan, PDIP bisa saja kembali dekat dengan pusat kekuasaan. Bukan sebagai pemilik rumah, tapi mungkin sebagai pengatur lalu lintas dalam halaman istana.
Musim baru telah dimulai. Prabowo sedang menulis babak besar dalam sejarah politik Indonesia, dan Megawati baru saja membuka tirainya.
Kini tinggal menunggu: apakah babak ini akan berakhir dengan koalisi resmi atau tetap menjadi simfoni politik tanpa partitur formal. (A27)