Ia tahu, masih ada botol pestisida di gudang. Dalam diam, ia menggenggam benda itu seperti menggenggam niatnya sendiri.
Sekitar pukul 02.30 WIB, ia melangkah menuju rumah lamanya. Dingin malam tak menghalangi langkahnya.
Juri yang mendengar ketukan pintu membuka dengan wajah penasaran.
“Ngopo, San?” tanya Juri setengah mengantuk.
Kasan menjawab tenang, “Arep ngopi, Pak.”
Ia menuju dapur, menyalakan kompor, merebus air.
Tak lama, ia menawari, “Tak buatin sekalian, ya, Pak?”
Juri mengangguk tanpa curiga.
Tapi hanya Kasan yang tahu, di salah satu cangkir, ada campuran racun rumput, pembasmi nyawa yang tak kasat mata.
Baca Juga: Arie Hanggara, Duka Indonesia 1984
Maut di Secangkir Kopi
Dua cangkir kopi tersaji di meja dapur. Bau wangi kopi bercampur aroma gelap dendam yang nyaris tak tercium.
Juri menyeruputnya perlahan. Dua menit kemudian, tubuhnya oleng. Dadanya sesak. Ia muntah darah, terkapar.
Tapi Kasan belum puas. Dalam kalut dan kemarahan yang sudah melampaui batas, ia membekap mulut Juri dan memaksakan sisa racun ke tenggorokan ayah tirinya.
Tak butuh waktu lama, Juri meregang nyawa di lantai dapur.
Tubuhnya diikat dengan tali plastik, lalu dinaikkan ke motor Supra X hitam milik Kasan.