Sinata.id — Dalam suasana pertemuan yang hangat di sebuah ruang pertemuan di Pekanbaru, Anggota Komisi IX DPR RI Sri Meliyana kembali mengingatkan betapa rapuhnya sistem jika perubahan kebijakan tidak dilakukan dengan penuh kehati-hatian.
Di hadapan para pemangku kepentingan, ia menekankan, bahwa peralihan menuju Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN) bukan sekadar urusan teknis. Melainkan proses besar yang dampaknya terasa langsung oleh masyarakat.
Sri Meliyana mengisahkan bagaimana setiap pergantian sistem data kerap memicu kegaduhan publik. Dalam pengalaman turun langsung ke daerah, ia menemukan terlalu banyak contoh, di mana warga tiba-tiba kehilangan status kepesertaan BPJS Kesehatan.
Data yang hilang, status kepesertaan yang mendadak tidak aktif, hingga kartu yang tak dapat digunakan di saat genting, semuanya muncul karena proses transisi yang kurang rapi.
“Kadang muncul pemberitaan, begitu data beralih ke DTSEN, ada saja masalah data hilang, tidak sinkron, peserta jadi tidak aktif. Akhirnya BPJS tidak bisa dipakai ketika masyarakat benar-benar butuh,” tutur politisi Gerindra, Kamis (20/11/2025).
Ia menegaskan, DTSEN akan menjadi fondasi utama data nasional. Karena itu, setiap langkah menuju sistem baru ini harus diperhitungkan secara matang, tidak terburu-buru, dan tidak mengorbankan kenyamanan publik. Menurutnya, syarat dan ketentuan transisi perlu disusun sejelas mungkin agar tidak menciptakan keresahan baru.
Dalam kesempatan yang sama, Sri Meliyana juga menyinggung hasil capaian Universal Health Coverage (UHC) di berbagai kabupaten/kota. Meski capaian kepesertaan BPJS Kesehatan telah melampaui angka 98 persen di banyak daerah, namun masih banyak warga yang berstatus peserta tidak aktif.
Kondisi seperti itu membuat sejumlah warga tetap tidak bisa menerima layanan kesehatan, meski daerahnya sudah mendapatkan label UHC.
“UHC itu seharusnya menjamin akses layanan kesehatan. Tapi faktanya, masih banyak peserta tidak aktif. Label UHC ada, tetapi ketika butuh berobat, BPJS-nya tidak bisa digunakan,” ujarnya.
Ia berharap kunjungan Panja JKN menjadi momentum bagi pemerintah daerah dan BPJS Kesehatan untuk memperkuat validitas data peserta. Baginya, UHC bukan sekadar angka di laporan, melainkan jaminan nyata, bahwa masyarakat bisa berobat tanpa terganjal kendala administrasi.
“Harapan kami, UHC itu betul-betul memastikan seluruh masyarakat sudah terlindungi. Bukan sekadar capai 98 persen lalu ternyata banyak yang tidak aktif, atau datanya hilang. UHC itu harus berarti akses pengobatan untuk semua,” tuturnya. (*)
Sumber: Parlementaria