Pematangsiantar, Sinata.id — Tohom Lumban Gaol ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pungutan liar (pungli) retribusi parkir di RS Vita Insani. Setelah menyandang status tersangka, ia kemudian ditahan di Rutan Polres Pematangsiantar pada Selasa (30/7/2025)
Penetapan tersangka Kepala Seksi di Dinas Perhubungan Pematangsiantar itu, memperluas kasus yang sebelumnya menjerat Kepala Dinas Perhubungan Kota Pematangsiantar, Julham Situmorang.
“Tohom ditahan di Rutan Polres Pematangsiantar mulai hari ini,” ujar Kanit Tipikor Polres Pematangsiantar, Ipda Lizar Hamdani kepada Sinata.id
Ia menyebut, Tohom telah ditetapkan sebagai tersangka belum lama ini. Dalam kasusnya, Tohom diduga berperan sebagai perantara penerimaan uang dari pihak rumah sakit secara bertahap dan kemudian menyetorkannya kepada Julham Situmorang.
“Atas perbuatannya, ia dijerat dengan Pasal 55 KUHP tentang turut serta melakukan tindak pidana,” tutur Lizar.
Berkas perkara Tohom dalam waktu dekat akan dilimpahkan ke jaksa untuk proses hukum lebih lanjut. “Kita sedang menyusun berkasnya untuk diserahkan ke jaksa,” tuturnya.
Kasus pungli ini bermula dari permohonan RS Vita Insani kepada Dinas Perhubungan Kota Pematangsiantar pada tahun 2024 untuk menutup sementara trotoar dan parkir tepi jalan sehubungan dengan kegiatan renovasi.
Permohonan itu disetujui Julham Situmorang, yang kemudian menerbitkan tiga surat izin penutupan tanpa menggunakan nama Wali Kota.
Dari persetujuan itu, pihak rumah sakit diwajibkan membayar kompensasi sebesar Rp48,6 juta secara tunai kepada staf Dishub berinisial TL, yang diketahui adalah Tohom Lumban Gaol, dan selanjutnya uang tersebut diserahkan kepada Julham.
Kasi Intel Kejari Pematangsiantar, dalam keterangannya pada Senin (28/7/2025), menyatakan bahwa dana kompensasi tersebut tidak disetorkan ke kas daerah dan tidak tercatat dalam sistem keuangan resmi.
“Hal ini menjadikannya tindakan melawan hukum dan penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi atau pihak lain,” ungkapnya.
Julham Situmorang sendiri telah lebih dahulu dijerat dengan Pasal 12 huruf (e) Jo Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yang memuat ancaman pidana penjara seumur hidup atau paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, serta denda antara Rp200 juta hingga Rp1 miliar.
Sebagai tambahan, Julham juga dijerat dengan Pasal 11 Jo Pasal 18 UU Tipikor sebagai subsider, yang mengatur ancaman pidana 1–5 tahun dan denda Rp50 juta hingga Rp250 juta. (*)