Oleh: St Ferry SP Sinamo, MH, CPM, CPArb
Dua peristiwa besar yang terjadi pada 26 Desember 2004 dan sekitar 26 November 2025 kembali membuka memori kolektif kita tentang betapa rapuhnya hidup.
Aceh menangis dua kali.
Dan seluruh Indonesia merasakannya.
Bukan hanya tentang angka korban dan kerusakan, tetapi tentang suara anak yang kehilangan orang tuanya, tentang ibu yang mencari nama pada daftar pengungsi, dan tentang rumah yang lenyap dalam hitungan detik. Setiap keping berita saat itu bukan hanya informasi—melainkan air mata yang jatuh.
Saat Laut Mengambil Segalanya – Tsunami Aceh 2004
Gempa dahsyat 9,1–9,3 SR mengguncang bumi hingga laut pun keluar dari batasnya.
Tsunami menelan pesisir, menyapu rumah, pasar, sekolah, bahkan masa depan.
Ratusan ribu jiwa pergi tanpa pamit.
Foto keluarga yang basah menjadi satu-satunya peninggalan.
Kota sunyi, hanya suara angin dan puing-puing yang bersaksi tentang tragedi.
Indonesia menangis bersama Aceh—bukan sehari, tetapi bertahun-tahun lamanya.
Dua Dekade Kemudian – Banjir & Longsor Sumatra 2025
Hujan turun tanpa jeda, membawa lumpur dan batu dari perbukitan.
Air meluap, memaksa warga berlari menyelamatkan diri.
Sebagian tidak sempat kembali, sebagian kehilangan tempat yang mereka sebut rumah.
* Anak-anak tidur di tenda pengungsian.
* Lansia menatap kosong ke arah rumah yang tinggal kenangan.
Doa dan harapan menjadi pakaian paling hangat di malam yang dingin.
Banyak orang terdiam, mengingat peristiwa 2004.
Tanggal yang berdekatan seakan membuka luka lama yang belum benar-benar sembuh.
Ketika Bencana Datang, Manusia Belajar Menjadi Keluarga
Di antara puing dan genangan air, ada tangan yang saling menggenggam.
Ada warga yang berbagi makanan terakhirnya.
Ada relawan yang menempuh perjalanan jauh hanya untuk memastikan seseorang tidak menangis sendirian.
Saat itu, kita tidak bertanya apa agama, suku, atau status seseorang.
Kita hanya tahu: kita manusia. Kita saudara.
Bencana mengajarkan sesuatu yang sering dilupakan—bahwa hidup tidak hanya tentang membangun, tetapi juga tentang menjaga, mengasihi, dan hadir untuk sesama.
Renungan: Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Dua Luka ini?
Tidak ada yang ingin bencana terjadi. Namun dari keperihan itulah kita melihat betapa berharganya waktu, keluarga, cinta, dan kedamaian.
Pertanyaan untuk diri kita sendiri:
* Sudahkah kita menjaga alam yang memberi kita hidup?
* Sudahkah kita lebih banyak mendengarkan daripada menyalahkan?
* Sudahkah kita memberi ruang bagi empati, bukan hanya opini?
Karena kadang, yang paling dibutuhkan bukan jawaban—melainkan hati yang mau peduli.
Harapan Tidak Pernah Tenggelam
Sejarah menunjukkan Aceh bisa bangkit. Indonesia bisa bangkit.
Di balik tangis, selalu ada tangan yang mengusap.
Di balik reruntuhan, ada keinginan untuk memulai kembali.
Bencana mungkin merobohkan bangunan,
tapi ia tidak pernah bisa merobohkan harapan manusia.
Mungkin, dua tragedi ini hadir sebagai pengingat bahwa hidup harus dihargai.
Bahwa kita harus lebih lembut terhadap bumi dan satu sama lain.
Bahwa luka akan sembuh, meski tidak pernah benar-benar hilang.
Semoga korban mendapat kekuatan, keluarga mendapat ketenangan,
dan negeri ini memetik hikmah untuk tidak lupa bahwa kita harus saling menjaga.
Indonesia pernah jatuh. Namun kita belajar berdiri.
Dan selama hati kita tidak mati, harapan akan selalu hidup.[A27]