Sinata.id – Selama bertahun-tahun, program loyalitas berjalan nyaris tanpa disadari. Konsumen berbelanja, poin bertambah, lalu suatu waktu ditukar hadiah. Skemanya rapi, fungsional, tetapi kerap berakhir di satu titik yang sama, hubungan transaksional.
Tidak ada ikatan emosional yang benar-benar tertinggal.
Situasi ini mulai berubah ketika sejumlah brand global mengevaluasi ulang makna loyalitas di era digital.
Starbucks dan Nike, dua nama besar dengan basis pengguna masif, mengambil langkah yang relatif sunyi namun strategis.
Mereka mulai memanfaatkan teknologi blockchain dan token digital, bukan untuk menjual kripto, melainkan untuk membangun hubungan yang lebih hidup dan berkelanjutan dengan konsumennya.
Langkah ini menandai pergeseran besar.
Loyalitas tidak lagi diposisikan sebagai akumulasi poin, melainkan sebagai pengalaman dan rasa memiliki.
Baca Juga: Nick Johnson, Otak di Balik ENS yang Mengubah Cara Manusia Berinteraksi dengan Ethereum
Brand Token, Bukan Kripto Spekulatif
Di tengah popularitas kripto dan fluktuasi pasar yang ekstrem, muncul satu konsep yang sering disalahpahami: brand token.
Berbeda dari coin kripto atau utility token yang berdiri independen di pasar, brand token sepenuhnya melekat pada identitas dan ekosistem sebuah brand.
Token ini tidak dirancang untuk diperdagangkan atau bersaing di bursa kripto.
Fungsinya lebih menyerupai kartu anggota digital yang berevolusi, menjadi penanda partisipasi, akses eksklusif, hingga simbol keanggotaan dalam komunitas brand.
Nilainya tidak ditentukan oleh harga pasar, melainkan oleh kedalaman hubungan yang tercipta antara brand dan pengguna.
Tanpa pemahaman ini, brand token berisiko disalahartikan sebagai instrumen spekulasi.
Padahal, justru sebaliknya: konsep ini lahir untuk menjauh dari logika tersebut.

