Sinata.id – Tangisan tertahan dan langkah-langkah tertatih memecah sunyi pegunungan Aceh. Di tengah jalur terjal yang licin akibat hujan dan longsor, seorang ibu hamil terpaksa ditandu warga menyeberangi lereng gunung.
Jembatan penghubung desa telah runtuh, jalan darat terputus, sementara nyawanya, dan calon bayi dalam kandungan, berpacu dengan waktu.
Peristiwa itu terjadi hampir dua pekan setelah banjir bandang dan tanah longsor melanda Aceh Tengah dan Bener Meriah.
Hingga kini, sejumlah desa masih terisolasi.
Akses satu-satunya menuju fasilitas kesehatan hanyalah jalur kaki yang menanjak, berlumpur, dan rawan longsor susulan.
Warga harus memanggul tandu darurat, bergantian menahan beban dan napas, menelusuri medan ekstrem selama berjam-jam.
Baca Juga: Tolong! Ribuan Warga Aceh Tengah-Bener Meriah Terancam Mati Kelaparan
Untuk mencapai puskesmas terdekat, perjalanan bisa memakan waktu hingga 10 jam, tanpa kendaraan, tanpa penerangan, dan tanpa kepastian cuaca bersahabat.
Kisah ibu hamil itu menjadi potret nyata krisis kemanusiaan yang terjadi di pedalaman.
Di saat listrik masih padam, jaringan komunikasi hilang-timbul, dan harga BBM melonjak hingga Rp100 ribu per liter, ribuan warga bertahan dalam keterisolasian.
Distribusi bantuan terhambat karena jalan utama tertutup material longsor dan jembatan-jembatan vital ambruk.
Kesulitan akses tidak hanya berdampak pada layanan kesehatan.
Stok pangan menipis, air bersih sulit didapat, dan warga di sejumlah desa mulai menghadapi ancaman kelaparan.
Kondisi ini memperburuk risiko bagi kelompok rentan, seperti ibu hamil, balita, dan lansia, yang membutuhkan penanganan cepat dan berkelanjutan.
Baca Juga: Bupati Aceh Selatan Diberhentikan Sementara Akibat Pergi Umrah di Tengah Bencana