Tuban, Sinata.id – Pagi itu, Selasa, 24 Oktober 2023, langit Tuban belum sepenuhnya cerah ketika jeritan mengguncang Desa Hargoretno. Di tengah ladang kosong yang biasanya sunyi, tergeletak tubuh tak bernyawa Agus Sutrisno, pria 33 tahun, Sekretaris Desa Sidonganti. Tubuhnya berlumur darah, berseragam dinas, seolah hendak berangkat kerja—namun maut lebih dulu menjemput.
Jatuh Cinta pada Istri Paman yang Berakhir Tragis
Warga geger. Polisi berdatangan. Garis kuning dibentangkan, dan tubuh Agus segera dievakuasi ke RSUD dr. Koesma. Tapi yang membuat semua orang tak bisa berhenti membicarakannya bukan sekadar kematian itu, melainkan drama kelam yang menyelimutinya.
Karena ini bukan sekadar pembunuhan. Ini adalah kisah cinta terlarang, dendam keluarga, dan pengkhianatan yang merobek batas darah dan kehormatan.
Perselingkuhan Mematikan
Agus bukan hanya rekan kerja. Ia adalah keponakan Jano—pria yang kemudian diidentifikasi sebagai pelaku pembunuhan itu. Dan lebih dari itu, Agus adalah lelaki yang diduga merebut hati perempuan yang seharusnya tak bisa disentuh: Ririn Rumaida, istri Jano sendiri.
Hubungan gelap itu dimulai jauh sebelum darah tumpah di ladang. Tahun 2018, saat Agus dan Ririn sama-sama mendaftar menjadi Sekdes. Di sanalah, bisik-bisik menggoda berubah jadi pelukan sunyi di balik tirai tugas desa.
Jano, pria bersahaja dari Dusun Ngindahan, sempat tak menyadari api yang membakar rumah tangganya. Tapi api itu akhirnya tercium juga. Tak kuat menanggung malu, Jano memilih mengasingkan diri. Ia membawa Ririn dan anak-anaknya merantau ke Kalimantan Utara. Empat tahun berlalu di tanah orang.
Namun ketika mereka pulang ke Tuban, Jano kembali menemukan bayangan lama yang belum sirna. Ririn diam-diam masih menjalin komunikasi dengan Agus. Dan saat itu, di hati Jano, dendam mulai tumbuh, liar dan panas. Ia tidak lagi hanya merasa dikhianati sebagai suami, tapi juga sebagai paman.
“Aku Sendiri yang Mateni, Iki Masalahe Aku Dewe”
Rencana gelap mulai disusun. Jano menghubungi adiknya, Nardi. Di sebuah ladang sepi, dua saudara ini bertemu. Suasana mencekam. Di sana, lahir niat membunuh Agus.
Nardi sempat ragu. Ia punya banyak anak yang harus diberi makan. Tapi darah yang sama mengalir di tubuhnya, dan loyalitas keluarga menuntut harga mahal.
“Aku gelem mbantu kowe tapi ojo sampe nyebut jenengku (aku mau membantu, tapi jangan sebut nama saya),” ujar Nardi.
“Iyo tak tanggunge dewe… masalah mati uripe, aku sing mateni Agus (iya kutanggung sendiri, masalah hidup dan matinya, aku yang habisi Agus).” jawab Jano, tegas, dingin.
Mereka bertiga—Jano, Nardi, dan seorang pria bernama Ahmad—bertemu malam itu. Ahmad memberi informasi: besok pagi Agus akan datang ke kantor kecamatan, sekitar pukul 08.00 WIB.
Pagi Berdarah di Hargoretno
Esoknya, Jano meminjam mobil pikap L300 milik tetangganya, Totok. Katanya untuk angkut barang. Totok mengiyakan, tanpa tahu bahwa mobilnya akan jadi alat pembunuhan.
Di pinggir jalan Dusun Bawi, Jano menunggu. Nardi sudah bersiaga di lokasi berbeda. Tak lama, bayangan Agus muncul: mengendarai motor Kawasaki KLX kuning-hitam, mengenakan pakaian dinas. Tak sadar, ia menuju akhir hidupnya.
Brak! Mobil pikap menghantam tubuh Agus. Dia terpental, terseret 50 meter. Tapi belum tewas. Dengan parang terhunus dan kepala tertutup, Jano turun. Agus lari, berusaha menyelamatkan diri ke ladang. Di sanalah Nardi menghadang, memukulnya dengan kayu. Agus jatuh, dan saat itulah—di tengah ladang yang sunyi—Jano menebaskan parang berkali-kali. Tubuh Agus bersimbah darah.
Lalu mereka kabur, meninggalkan jasad berdarah yang masih mengenakan seragam kerjanya. Pikap dibiarkan begitu saja di pinggir jalan, namun menjadi saksi keji.
Akhir Pelarian, Sidang, dan Vonis
Sore harinya, Jano menyerahkan diri ke Polsek Grabakan. Parang pembunuh dibungkus dengan pelepah pisang. Dua minggu kemudian, Nardi juga menyerahkan diri—dengan diantar keluarga dan perangkat desa.
Motifnya? Satu kata: asmara.
Kapolres Tuban, AKBP Suryono, mengungkap fakta mengejutkan: “Iya, karena diduga istrinya diselingkuhi korban.”
Hubungan terlarang itu tak lagi bisa ditutupi ketika Ririn sendiri bersaksi di pengadilan. Ia mengakui berselingkuh dengan Agus, bahkan mengaku telah melakukan hubungan badan sebanyak lima kali saat Jano bekerja di luar kota.
Pengadilan akhirnya menjatuhkan vonis. Jano divonis 15 tahun penjara—lebih ringan dari tuntutan jaksa, 18 tahun. Nardi dijatuhi 10 tahun penjara—juga lebih ringan dari tuntutan. (*)