Crime Story, Sinata.id – Sore itu, 18 Juni 2018. Langit di atas Danau Toba mulai muram. Dari kejauhan, ombak perlahan meninggi, dan angin berputar membawa hawa dingin yang tak biasa. Di dermaga Simanindo, kapal motor bernama KM Sinar Bangun bersiap meninggalkan tepi danau, membawa ratusan penumpang yang ingin pulang ke Tigaras, Simalungun.
Tidak ada yang tahu, perjalanan singkat sejauh beberapa mil itu akan menjadi pelayaran terakhir bagi sebagian besar dari mereka. Dalam waktu kurang dari setengah jam, kapal yang semula tampak kokoh itu berubah menjadi nisan terapung di danau terdalam Asia Tenggara.
Menjelang sore, suasana dermaga begitu ramai. Orang-orang baru saja merayakan Idulfitri, dan arus balik membuat antrean kapal memanjang. Kapal motor Sinar Bangun, yang hanya berkapasitas puluhan orang, dijejali lebih dari seratus penumpang dan puluhan sepeda motor.
Baca Juga: Akhir Tragis Dosen Cantik, Jam 3 Pagi di Kamar Tidur
Tak ada manifes resmi. Tak ada tiket bernomor. Semuanya berjalan cepat, serba ingin pulang. Tak sedikit yang duduk di atap kapal sambil memegang motor, sebagian lain berdiri di tepi pagar kayu. Mereka tertawa, berfoto, tak menyadari kapal sudah condong lebih dari biasanya.
Sementara itu, awan gelap dari arah barat mulai merayap. Ombak di tengah danau menari semakin liar.
Sekitar pukul lima sore, suara teriakan memecah angin. Ombak setinggi dua meter menghantam lambung kiri kapal. Sepeda motor bergeser, penumpang panik, dan kapal oleng keras. Dalam hitungan detik, Sinar Bangun kehilangan keseimbangan.
“Kapalnya miring! Semua jatuh ke air!” teriak seorang saksi yang melihat dari jauh.
Kapal itu terbalik total. Sebagian penumpang sempat berenang, sebagian lagi terjebak di dalam ruang kayu yang kini menjadi jebakan maut. Jaket pelampung yang seharusnya menyelamatkan, banyak tersimpan rapi di lemari yang terkunci.
Danau Toba, yang selama ini menjadi kebanggaan Sumatra Utara, sore itu menelan ratusan jiwa dalam hening yang menakutkan.
Baca Juga: Kisah Leanne Tiernan, Hilang di Hutan, 1.800 Bangunan Diperiksa, Ditemukan di Freezer
Teriakan dari Dermaga Tigaras
Malamnya, suasana dermaga Tigaras berubah menjadi lautan tangis. Keluarga korban berdesakan mencari kabar, menyodorkan foto anak, istri, suami, semua berharap satu nama dipanggil dari daftar penumpang selamat.
Namun daftar itu pendek, hanya 21 nama.
Tiga jenazah berhasil ditemukan, sisanya, lebih dari 160 orang, hilang tanpa jejak.
Danau yang tampak tenang itu ternyata memiliki kedalaman lebih dari 400 meter. Para penyelam dan tim SAR hanya bisa bekerja sampai batas tertentu. Di bawah sana, gelap total, suhu dingin menggigit, dan arus kuat menghalangi setiap upaya.
Hari demi hari, harapan mulai berubah menjadi keputusasaan.
Baca Juga: Mertua Doyan Ngintip Menantu dan Secangkir Kopi Pembawa Maut
Pencarian di Dasar Gelap Danau
Basarnas, TNI, dan Polri bekerja siang malam. Sonar canggih didatangkan. Kapal pencari berputar di tengah danau, mencoba membaca bayangan di kedalaman.
Beberapa sinyal sempat terdeteksi, struktur yang diyakini bangkai kapal. Namun untuk mengangkatnya? Mustahil tanpa risiko besar.
Danau Toba bukan danau biasa. Ia luas seperti lautan, curam, dan misterius. Hingga akhirnya, pemerintah memutuskan, kapal dan para korban yang masih di dalamnya akan dibiarkan bersemayam di dasar danau. Di titik itu, doa-doa saja yang tersisa.
Baca Juga: Kisah Tragis Satomi Kitaguchi, Siswi SMA Berprestasi yang Tak Pernah Kembali